Sabtu, 05 November 2016

Antara Dia dan Ayah

Bel akhirnya berdering, pelajaran akhirnya usai. Semua siswa bergembira, wajah-wajah lemas berubah menjadi sorak sorai. Ana, teman sebelahku juga demikian. Dia tadi tertidur sepanjang pelajaran namun saat bunyi bel terdengar, Ana langsung bangun, siap-siap pulang ke rumah.

“Nunggu dijemput, Rin?”

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Sebal rasanya, sudah duduk di bangku SMA namun aku masih harus diantar jemput seperti anak TK. Ayah orang yang sangat keras kepala sehingga tidak mungkin aku tidak menuruti keinginannya untuk mengantar jemputku setiap hari. Bahkan ikut teman yang searah jalan pulangnya pun ayah tidak mengizinkan.

“Bahaya! Pokoknya ayah yang akan jemput kamu!”

Aku juga kesal sekali karena ayah sering terlambat menjemputku. Seribu alasan dilontarkan dan ribuan janji ayah katakan bahwa tidak akan terlambat lagi. Namanya janji, seringkali hanya terucap di bibir, ayah tetap saja terlambat menjemputku.

“Bentar lagi mau ujan, nih, gak papa aku pulang duluan?”
“Gak papa kok, pulang aja, Na, aku udah biasa nunggu sendiri.”
“Maafin.”

Ana memasang wajah bersalah dan aku membalasnya dengan tersenyum. Memang, setiap hari aku menunggu sendirian, Ana selalu harus cepat pulang ke rumah. Dia harus membantu orangtuanya menjaga warung. Aku tak masalah, aku mengerti sekali. Bagaimanapun, perkataan orangtua harus diutamakan.

“Duluan, Rin, sampai besok yaa.”
“Ok, hati-hati, Na.”

Setiap hari Ana naik bus kota. Rumahnya cukup dekat ke sekolah dibanding rumahku, waktu yang ditempuh Ana hanya lima belas menit. Rumahku cukup jauh dengan sekolah, waktu yang ditempuh sekitar tiga puluh menit. Mungkin jarak yang cukup jauh adalah salah satu alasan ayah ingin menjagaku seperti itu.

Sejak kecil aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Bunda meninggal setelah melahirkanku. Ayah bilang bunda memang ingin mempertahankan kandungannya walau nyawanya sendiri harus dipertaruhkan. Rasanya sedih sekali, belum pernah melihat atau merasakan kasih sayang seorang ibu. Jujur aku iri dengan teman-temanku yang dekat dengan ibunya. Ana saja selalu bercerita bahwa tempat curhat terbaik adalah ibunya. Aku juga sering melihat di tv artis-artis muda yang dekat dengan ibunya. Sakit sekali rasanya tapi aku tetap bersyukur masih memiliki ayah. Apapun yang terjadi dalam hidup ini aku harus selalu bersyukur. Aku tidak boleh melihat ke atas saja tapi harus melihat ke bawah juga. Di luar sana banyak anak-anak yang yatim piatu, tidak tahu di mana orangtuanya, tidak tahu siapa orangtuanya. Jadi aku sangat bersyukur masih bisa bersama dan dirawat dengan baik oleh ayah.

Aku selalu menunggu ayah di pos satpam. Sudah tiga puluh menit menunggu dan ayah belum juga datang. Aku sudah menghubungi ayah beberapa kali namun tidak ada jawaban. Hujan sejak tadi belum muncul, sepertinya tidak ingin merperkeruh suasana hatiku yang kesal menunggu ayah.
 “Lo tunggu sini, bro. Jangan ke mana-mana, lo.”
“Oke.”

Dua orang mendatangi pos satpam, yang satu pergi lagi naik motor yang satunya tetap di sini bersamaku. Sepertinya mereka atlet basket. Pakaian mereka, bola yang dipegang oleh laki-laki yang berada di sini, sudah dengan jelas membuktikan mereka atlet basket.

“Lagi nunggu siapa?”
Aku terdiam menundukkan kepala. Aku ingin menjawab tapi ragu, mungkin saja dia sedang berbicara dengan orang lain bukan denganku, walaupun kemungkinan itu kecil karena setahuku hanya ada kami berdua di tempat ini.
“Hei..”
Dia menyentuh lenganku. Aku menaikkan kepalaku dan ternyata kepalanya begitu dekat. Wajahnya begitu tampan walau terlihat kelelahan. Astaga, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Dipanggil gak jawab-jawab. Lo tuli?”
“Maaf.”
“Ya udah jawab pertanyaan gue.”
“Oh, iya, aku lagi nunggu juga.” Dia sudah menjauhkan kepalanya dari kepalaku. Ternyata dibalik wajah tampannya tersimpan keangkuhan yang menyebalkan. Pemaksa pula, menyebalkan.
“Nunggu pacar? Sekarang udah jam empat, bukannya bubar sekolah udah lama ya?”
Aku menggeleng. Pacar dari mana? Pulang bersama teman perempuan saja tidak diijinkan oleh ayah, apalagi pacar? Bisa mati aku!
“Pelit ngomong ya, lo?”

Hujan turun dengan derasnya. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Untungnya dia tidak berbicara lagi. Aku menikmati hujan. Hujan kali ini bisa dibilang sangat deras, air hujan memasuki pos satpam yang kecil. Aku tak peduli dengan seragamku yang hampir basah semua. Aku berdiri di pojok pos satpam sambil menatap langit.

“Lo bego atau gimana sih? Udah tahu hujan berdiri di situ.”
Laki-laki itu menarikku ke dalam. Aku tidak memberontak karena dia menarikku dengan genggaman yang kuat. Kemudian dia menyelimuti badanku dengan jaketnya.
“Eh, ngapain…”
“Lo basah, lo pasti kedinginan. Pake aja jaket gue, bersih dan wangi kok.”
“Makasih.”
Aku tersenyum ke arahnya dan dia membalas senyumku! Astaga, jantungku berdetak lebih kencang lagi, payah sekali.
“Samuel. Nama lo siapa?”
Sam mengulurkan tangannya padaku. Aku menjabat tangannya dan memperkenalkan diri.
“Aku Arini.”
“Arin, nama yang bagus.”
Dia memanggilku Arin, padahal selama ini teman-teman memanggilku Rini. Hanya ayah yang memanggilku Arin. Astaga, laki-laki ini, Sam, laki-laki istimewa.

“Rin, gak papa aku pulang duluan?”
“Gak papa, Na.”
“Kok aku ngerasa belakangan ini kamu beda, ya, Rin.”
“Beda gimana?”
“Lebih ceria, lebih hidup. Biasanya kalo pulang sekolah muka kamu datar-datar aja. Sekarang kayak yang seneng aja. Apa ayah kamu gak telat jemput kamu lagi?”
Aku tersenyum. Ana benar, belakangan ini aku berbeda, ya, aku merasa bahagia. Tepatnya karena Samuel telah hadir dan memasuki kehidupanku. Dia membuatku lebih hidup dan tidak membuatku bosan menunggu ayah.
“Tuh, kan, senyum-senyum sendiri.”
“Eh, maaf, Na, gak papa kok.”
“Ya udah kalo belum siap cerita aku gak maksa. Aku pulang ya.”
Aku menunggu ayah di pos satpam seperti biasa. Kini aku menunggu dengan wajah bahagia, ya, ini gara-gara Sam. Sebentar lagi dia akan datang, kalau dia tidak terlambat.
“Hai, Rin.”
Aku membalikkan badan dan menemukan Sam yang tersenyum manis. Aku membalas senyumnya. Seperti biasa, dia baru selesai bermain basket. Sam duduk di sebelahku.
“Arin…”
“Iya, Sam?”

Setiap hari aku dan Sam saling bertukar cerita. Entah itu cerita manis atau pahit. Kekesalan Sam akibat teman-temannya yang iri dengan bakat Sam dalam basket, lucunya adik Sam yang baru lahir dan masih banyak lagi. Aku lebih sering mendengar daripada berbicara. Aku akan berbicara ketika Sam membutuhkan saran.
“Makasih, Rin, aku seneng punya temen kayak kamu.”
Aku tersenyum tipis. Sam menganggapku teman. Ayolah, aku harus bersyukur bisa mengenal Sam. Bisa menjadi temannya saja sudah anugrah.
“Sama-sama, Sam, aku juga seneng punya temen kayak kamu.”
Aku mengambil susu kotak di tasku lalu meminumnya.
“Kapan-kapan aku pengen anterin kamu pulang.”
Aku tersedak. Sam mengelus punggungku, otomatis aku menghindar.
“Kamu gak papa, Rin? Kok malah ngehindar.”
“Gak papa, Sam, maaf, itu refleks.”
“Iya. Jadi, kapan aku boleh anter kamu pulang?”
“Kapan-kapan ya, emang kamu siap ketemu ayahku?”

Selama ini Sam belum pernah bertemu ayah. Saat ayah datang menjemput aku berhasil mengusir Sam dari pos satpam. Aku takut ayah marah kalau beliau tahu aku menunggunya bersama laki-laki. Ya, ayahku memang sangat tidak suka aku dekat dengan laki-laki, kecuali dirinya.
“Hahaha, Rin, kenapa harus gak siap? Aku siap banget. Emang ayah kamu preman? Ketua geng motor?”
Aku tertawa kecil dan Sam memandangku dengan wajahnya yang penasaran.
“Ayahku laki-laki biasa, dia bukan preman ataupun ketua geng motor tapi kamu harus tahu, ayahku dan semua ayah di dunia yang memiliki anak perempuan akan lebih menyeramkan dari preman ataupun ketua geng motor bahkan penjahat kelas kakap sekalipun.”
Sam tersenyum. Sepertinya dia mulai mengerti maksudku. Tiba-tiba tangan kiri Sam memegang tanganku.

Aku berusaha melepaskan namun tangan kanan Sam mengangkat daguku agar aku menatapnya.
“Rin, perlu kamu tahu aku sejak awal ingin bertemu ayah kamu. Ada tambahan juga, bukan hanya seorang ayah yang punya anak perempuan, laki-laki yang punya adik perempuan juga akan menyeramkan. Seperti itulah aku. Aku punya adik perempuan dan aku rasa ayahmu akan cocok denganku.”
“Kamu gak pernah bilang punya adik perempuan. Bukannya adik kamu cuma Simon?”
Sam tersenyum tipis. Ia melepaskan tanganku lalu berdiri menatap langit. Aku menghampirinya dan berdiri di sebelahnya. Aku diam, menunggu dia bercerita. Kurasa telah terjadi sesuatu dengan adiknya.
“Sarah berbeda dua tahun denganku. Sejak kecil aku selalu berusaha keras untuk melindunginya. Saat usiaku dua belas tahun kecelakaan itu merenggut nyawa Sarah. Kami bermain di taman seperti biasa, sore-sore. Aku pergi sebentar ke kamar kecil dan saat kembali Sarah sudah tergeletak di pinggir jalan dengan berlumuran darah di kepalanya. Sarah dibawa ke rumah sakit dan tidak tertolong. Dokter bilang penyebab kematian Sarah adalah tabrak lari, kepala Sarah terbentur trotoar.”

“Maaf, Sam.”
“Kenapa minta maaf, Rin. Kamu kan gak salah apa-apa.”
Aku memegang tangan Sam, aku harap bisa memberi kekuatan padanya. Aku tahu dan yakin, ia masih terpukul dengan kematian Sarah. Sam tersenyum lalu memelukku. Aku sebenarnya takut ayah datang tapi entah mengapa aku membalas pelukannya.
“Sarah sekarang ada di tempat terbaik. Kamu harus kuat dan selalu mendoakannya.”
Sam mengangguk dan ia menitikkan air mata. Aku tahu dan mengerti. Kehilangan orang yang kita sayangi takkan pernah mudah untuk diikhlaskan.

Pagi ini seperti biasa aku bersiap-siap ke sekolah. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang begitu kencang saat aku menikmati roti bakar di ruang makan. Penasaran namun aku memutuskan menghabiskan rotiku dulu, ayah selalu marah jika aku tidak diam di meja makan selama aku makan. Makan sampai habis, jangan ditinggal bla bla selalu ayah bilang seperti itu.
“Hai, Rin.”
Aku seperti mendengar suara Sam memanggilku. Ah, sepertinya aku sedang kurang waras. Aku kembali fokus pada roti di depanku.
“Aku jadi kacang nih?”
Aku tersedak. Astaga, Sam tiba-tiba duduk di depanku!
“Minum dulu, Rin.”
Sam menyerahkan gelas untukku. Aku meminumnya sambil memperhatikan Sam, apakah ini benar-benar dia atau ayah yang terlihat seperti Sam. Anehnya, ini sungguh Sam.
“Sam? Ini kamu?”
“Ya ampun, Rin, iyalah, siapa lagi emang? Kaget ya? Hahaha.”
“Gak mungkin. Ini aneh.”
“Ayah udah berangkat kerja. Aku barusan udah ijin buat jemput dan anter kamu pulang nanti. Yuk, udah jam enam lewat dua puluh menit, nanti macet, lho.”
“Sam, kamu serius? Kamu tadi dikasih ijin sama ayah??”
“Iya, Rin, aku serius. Serius banget. Nanti aku ceritain di jalan, yuk!”

Ini sungguh di luar dugaan. Sekarang aku diantar jemput oleh Sam setiap hari. Ayah terlihat senang dengan Sam bahkan lebih percaya dengan Sam dibanding denganku. Setiap malam minggu Sam bermain catur sambil minum kopi dengan ayah di teras depan. Aku senang melihat ayah dan Sam begitu akur. Aku juga senang, Sam benar-benar berhasil menaklukan ayah.
“Hebat! Selamat, kamu menang!”
Malam ini Sam menang catur melawan ayah. Ayah berjabat tangan dengan Sam sambil tersenyum, seperti dengan teman lama.
“Ini juga berkat diajarin om, makasih om.”
“Teknik yang kamu pakai semakin baik, bagus. Kamu tipe orang yang belajar dari kesalahan.”
“Terima kasih, om. Kalau begitu, karena saya sudah menang, boleh kan, om, besok malam saya ajak Arin jalan-jalan? Saya janji, om, jam delapan malam kami sudah sampai di rumah.”
Astaga, Sam benar-benar berani. Duh, kalau ayah marah lalu mengusir Sam lalu benci dengan Sam lalu…
“Boleh, silahkan.”
Gak mungkin. Ini gak mungkin. Ayah mengizinkan aku keluar malam? Ayah mengizinkan aku keluar malam dengan pria??
“Ayah…”
“Tapi harus tepati janji, jam delapan sudah di rumah.”
“Baik, om. Kalau saya ingkar janji, saya tidak akan mendekati Arin lagi.”
“Sam…”
“Laki-laki harus bisa menepati janji. Laki-laki sejati gak akan pergi sama perempuan sampai larut malam.”
“Om suka cara kamu. Jangan kecewakan om.”
“Siap, om.”
Ayah masuk ke rumah. Aku masih tidak percaya dengan semua yang telah terjadi. Sam tiba-tiba berdiri, pamit pulang.
“Besok dandan yang biasa aja, gak perlu berlebihan. Kamu selalu cantik di mata aku kok. Aku pulang dulu ya. Jangan tidur terlalu malam. Dadah.”
“Hati-hati di jalan, Sam.”
Sam mengangguk lalu pergi. Aku masuk ke dalam, ayah menungguku di ruang tamu. Aku duduk di sebelah ayah, menunggu ayah berbicara duluan.
“Sejak kecil bunda sudah pergi meninggalkan kita. Ayah gak mau kehilangan untuk kedua kali karena itu ayah sangat menjaga kamu, nak. Sekarang kamu sudah beranjak dewasa. Ayah suka dengan Sam, dia laki-laki yang sangat baik, ayah percaya padanya. Namun ayah juga ingin kamu mengingat satu hal, jaga dirimu baik-baik. Apapun yang terjadi jangan pernah menutupi sesuatu dari ayah. Kalau Sam macam-macam bilang sama ayah.”
Aku memeluk ayah dan menangis dipundaknya. Aku dapat merasakan ayah juga ikut menangis.
“Arin sayang ayah. Arin akan jaga diri baik-baik.”

“Aku mencintaimu, rasaku ini masih biasa namun dipastikan akan terus berkembang sampai seterusnya. Cintaku untukmu masih sederhana namun dipastikan akan semakin mendalam. Bolehkah aku menjadi penjagamu selain ayah?”
Aku hanya bisa mengangguk lalu memeluknya.
“Aku juga mencintaimu, Sam.”

Hari Minggu, jam enam sore, di taman kota, aku bahagia, sangat bahagia.
Hari-hari kulewati dengan bahagia. Ayah dan Sam semakin akrab. Aku juga senang karena sudah diperkenalkan dengan keluarga Sam. Mama dan Papa Sam orang yang sangat baik. Simon, adik Sam, sangat menggemaskan. Kini tiap pulang sekolah aku mampir ke rumah Sam untuk bertemu Mama. Mama bilang aku boleh menganggap beliau seperti bunda. Jam lima sore Sam pasti akan mengantarkanku pulang agar ayah tidak khawatir.

“Arin, tunggu!”
Aku membalikkan badan dan melihat Mama mengejarku dari belakang. Aku akan pulang diantar Sam, tiba-tiba Mama memberikanku sebuah gelang.
“Ini untukmu, sayang. Dipakai, ya.”
“Jangan, Ma.”
“Gak papa, Rin. Dulu itu gelang Sarah.”
Aku menatap Sam lalu berdiam membiarkan Mama memakaikan gelang itu. Mama memelukku.
“Arin sudah Mama anggap seperti anak sendiri. Gelang ini turun temurun diberikan untuk anak perempuan di keluarga Mama. Dulu gelang ini milik Sarah, sekarang gelang ini punya Arin.”
“Gak papa, Ma?”
“Gak papa dong. Bagaimanapun Arin juga calon menantu Mama.”
“Ma, jangan terlalu frontal, nanti Arin takut dilamar waktu lulus SMA.”
Kami semua tertawa lalu aku dan Sam pamit pergi. Sampai di depan rumah entah mengapa Sam turun dari motor, padahal biasanya dia tetap di motor walau ia akan berbincang sebentar sebelum pergi.
“Rin, aku sayang banget sama kamu.”
Sam mencium keningku. Setelah itu dia pergi tanpa mendengarku.
“Aku juga sayang banget sama kamu, Sam.”

“Gak mau! Ayah kenapa sih? Tiba-tiba larang aku sama Sam? Ayah harus kasih alasan yang jelas sama Arin!”
“Pokoknya kamu menjauh dari Sam! Minggu depan kita pindah ke luar kota. Kamu harus nurut sama ayah!”
“Gak mau!”
Aku berlari dan mengunci kamar dari dalam. Aku menangis tersedu-sedu. Ayah aneh, tiba-tiba melarangku dengan Sam. Ponselku disita. Ayah kejam! Ayah jahat!
Aku mendengar suara motor Sam. Sepertinya dia mau mengambil jaketnya yang terbawa olehku. Aku ingin menemuinya namun aku bertahan di kamar, ingin melihat respon ayah dengan Sam. Tidak terdengar apa-apa namun beberapa menit kemudian terdengar lemparan barang pecah di ruang tamu. Aku langsung ke luar dan tidak, ayah memukul Sam!
“Jauhi anak saya! Jangan dekati dia lagi!”
“Saya butuh alasan yang jelas! Mengapa om jadi seperti ini?”
“Ayah! Jangan sakiti Sam!!”

Aku melerai ayah dan Sam. Sam mendapat luka pukulan di dekat bibirnya. Ini benar-benar aneh, semarah-marahnya ayah ia tidak pernah memukul orang, apalagi orang yang sudah dekat dengan ayah.
“Ayah menyembunyikan apa? Jawab Arin! Ayah gak biasanya begini. Kalau ayah kasih penjelasan yang jelas Arin sama Sam mungkin bisa mengerti, kalau ada masalah atau salah paham mungkin bisa dicari solusinya.”
Sam memegang tanganku erat. Ayah menarik nafas, sepertinya ayah akan mengatakan semuanya.
“Sebenarnya…”

Hari ini, aku berdiri di tempat yang baru. Sendirian, tanpa ayah, tanpa Sam. Malam itu ayah mengatakan semuanya, ayah adalah penyebab tewasnya Sarah. Ayah tidak sengaja menabrak Sarah yang tiba-tiba menyebrang. Ayah ingin menolong namun karena takut ayah kabur, dan ia hanya mengingat kalau gadis yang ditabraknya memakai gelang putih, gelang Sarah yang diberikan Mama untukku. Itulah yang membuat ayah sangat protektif padaku.

Ayah memutuskan untuk menerima hukuman di pengadilan, sepuluh tahun penjara. Sam dan keluarganya sudah memaafkan ayah namun semua ini berat. Aku memutuskan pindah ke luar kota, ini yang terbaik untukku dan untuk Sam. Aku yakin meskipun Sam sudah memaafkan ayah akan berat untuknya jika melihatku. Sam sering menghubungiku namun aku mengabaikannya. Saling melupakan adalah yang terbaik untuk kami. Lebih tepatnya, berjalan masing-masing, karena tidak mungkin aku bisa lupa semua hal bersama Sam, terlalu indah untuk dilupakan. Aku percaya, sesuatu yang ditakdirkan untuk bersama pasti akan menyatu bagaimanapun caranya.

“Arin, ada telepon untukmu.”
Tante Hani adalah adik ayahku. Aku tinggal bersama Tante Hani, sesuai rekomendasi ayah. Aku juga sudah mengenal Tante Hani dengan baik sehingga tidak ada kecanggungan di antara kami.
“Dari siapa tante?”
“Gak tau, nih.”
“Hallo…”

“Sam sudah koma hampir tiga minggu. Dia terkadang mengigau memanggil Arin. Sejak Arin pergi Sam berubah sekali. Pulang malam, suka marah-marah, banyak melamun.”
Aku menangis dan menyalahkan diri sendiri. Sam seperti ini akibat ulahku. Kenapa aku harus menghancurkan semuanya? Setelah Sarah meninggal tidak mungkin Sam harus pergi juga.
“Maafin Arin, Ma, ini semua salah Arin.”
Mama memelukku. Aku menangis sepuasnya.

“Hai, Rin. Aku harap setelah kamu melihat ini kita masih bisa bertemu ya. Aku kangen banget tau! Kamu ke mana? Kenapa harus pergi?? Aku sangat menyayangi Sarah tapi semua sudah berlalu. Aku memang sedih tapi aku udah ikhlasin Sarah. Toh kamu gak ada salah apa-apa, ayah juga gak sengaja malah ayah masih bisa menebus kesalahannya. Aku butuh kamu tapi kamu malah pergi kayak gini. Aku sedih. Aku rindu dan gak tau harus berbuat apa. Kamu kangen aku gak? Apa jangan-jangan kamu udah sama cowok lain?? Jangan berani-berani selingkuh!! Aku aja di sini setia masa kamu selingkuh.
Arin, cepat pulang, cepat kembali. Aku merindukanmu.”

Aku menangis melihat video Sam. Aku sadar aku benar-benar bodoh. Aku egois. Aku memikirkan diriku sendiri. Aku ingin membahagiakan Sam tapi malah membuatnya terluka.
“Sudah, Rin, ikhlaskan. Belajarlah dari setiap kesalahan, semua yang berlalu biarkan dan jadikan patokan untuk ke depan.”

Aku belajar bahwa untuk menjadi kuat terkadang harus terluka dahulu. Untuk menjadi berani harus percaya diri. Untuk mencintai harus ada keterbukaan dan kejujuran.
Untuk bahagia, memang ditentukan oleh diri sendiri tapi jangan lupa untuk mengikutsertakan Tuhan dalam keputusanmu. Selalu andalkan Tuhan dalam setiap situasi untuk hidup yang penuh berkat.

Cerpen Karangan: Helena Yasinta Kartikasari
Blog: officialhelenayasinta.blogspot.com

Cerita Antara Dia dan Ayah merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/antara-dia-dan-ayah.html

0 komentar:

Posting Komentar