Sabtu, 05 November 2016

I Love You My Brother (Part 1)



 Apa sih yang menyenangkannya punya Kakak? Selain ada yang mau diajak mengobrol, ada juga yang melindungi kita, karena Kakak adalah seseorang yang tulus menyayangi dan menjaga kita selain orangtua kita. Kakak juga tempat kita berbagi cerita, baik itu suka maupun duka, dialah pendengar yang setia setiap kali kita mencurahkan isi hati kita. Dialah seseorang yang selalu ada untuk kita disaat kita susah maupun senang, karena dia juga adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita.
 
Setiap Adik pasti ingin bisa melakukan apa saja bersama Kakaknya, begitu juga denganku. Tapi sayangnya aku tidak bisa melakukan apa saja yang aku mau bersama Kakakku. Aku tahu semua orang yang ada di dunia ini memang tidak selalu terlahir sempurna, pasti mereka memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ya, begitu juga dengan Kakakku. Kakakku terlahir dengan kondisinya yang berbeda dengan yang lain. Kondisi fisiknya lemah, tidak seperti manusia pada umumnya yang memiliki fisik yang kuat.

Tubuhnya sangat lemah, kakinya pun tidak mampu menopang berat tubuhnya. Kaki yang seharusnya bisa ia gunakan untuk berjalan, tidak bisa melangkah kemana pun yang ia mau, sehingga membuat hidupnya bergantung kepada orang lain, karena ia tidak bisa melakukan banyak hal yang seharusnya ia bisa lakukan sendiri. Karena keadaannya yang seperti itulah yang menghalangiku untuk bisa melakukan semua itu bersamanya.

Awalnya aku memang tidak bisa menerima keadaan Kakakku yang seperti itu, bahkan aku pernah tidak mengakuinya sebagai Kakakku di depan teman-temanku, karena pada saat itu aku malu dengan mereka, malu akan kondisinya itu. Mereka mempunyai saudara, Kakak atau Adik yang sempurna, sedangkan aku, Kakakku tidak seperti mereka yang bisa mereka banggakan. Namun, lambat laun aku bisa menerimannya ketika aku beranjak remaja yang pemikiranku sudah mulai dewasa. Sudah mulai mengerti apa yang belum aku mengerti sebelumnya, mengerti bagaimana menghargai perasaan orang lain, dan juga mengerti bagaimana perasaan Kakakku jika dibedakan dengan yang lain karena kondisinya yang seperti itu. Sebagai Adik seharusnya aku bisa membantu Kakakku dalam melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya, bukan malah menjauhkannya, bahkan malu untuk mengakuinya sebagai Kakakku. Aku masih ingat ketika dulu dia meminta bantuanku untuk mengambilkan sesuatu yang tidak bisa dia mengambilnya sendiri, bukannya membantu, aku malah memarahinya, memaki-makinya karena sudah membuatku repot. Apa bedanya aku dengan mereka yang suka mencemoohkan orang yang memiliki kekurangan jika aku tidak bisa menerima keadaan Kakakku yang seperti itu?

Usiaku dan Kakak tidak terlalu jauh, hanya berjarak lima tahun. Dulu ketika aku masih kecil aku suka iri dengan yang lain, sangat iri. Pasti kalian tahu kan apa artinya iri? Ya, iri adalah sifat seseorang yang kurang senang melihat kelebihan yang dimiliki orang lain. Tapi iri disini tuh berbeda, bukannya kurang senang melihat kelebihan orang lain, melainkan kurang senang jika melihat yang lain bisa bermain dengan Kakaknya. Konyol memang, masalah main saja harus diiriin. Tapi jujur, aku benar-benar sangat iri. Mereka bisa bermain dengan Kakaknya, sedangkan aku, Kakakku berbeda dengan Kakak-kakak mereka. Kakakku hanya bisa duduk di kursi roda setiap harinya dan setiap melakukan aktivitasnya, bagaimana aku bisa bermain seperti mereka jika Kakakku tidak bisa terlepas dari kursi rodanya itu?

Pernah aku merengek-rengek untuk minta diajari naik sepedah dengannya, sepeda pemberian Ibu ketika aku berulang tahun yang kelima. Saat itu yang lain sudah pada bisa naik sepeda karena diajari oleh Kakaknya, dan saat itu juga aku belum mengerti keadaannya, sehingga aku tidak mempedulikan keadaannya itu. Yang ada pikiranku hanya ingin bisa naik sepedah. Aku hanya bisa melihat mereka bermain sepeda dari dalam rumah melalui jendela, aku juga cuma bisa menatap iri tawa mereka disaat mereka bermain dengan Kakaknya. Tapi setelah kufikir-fikir, buat apa harus iri, kalau aku masih bisa bermain dengannya di dalam rumah, dengan permainan yang lebih seru daripada main sepedah di luar rumah.


Waktu itu berlalu begitu cepat, tidak terasa usiaku sudah 12 tahun dan aku sudah masuk SMP. Aku bersekolah di sekolah yang sama dengan Kakak, dimana sekolah itu memiliki dua tingkatan, SMP dan SMA. Disana aku kelas 1 SMP, sedangkan dia kelas 3 SMA. Setiap hari kami selalu diantar oleh Ayah ke sekolahnya, karena arah sekolah kami searah dengan tempat kerja Ayah. Aku selalu mengantarkan Kakak sampai ke dalam kelasnya, ketika ia belum pulang pun aku menunggunya, sebab jam pulangku lebih cepat dibandingkan jam pulangnya. Aku juga selalu membelanya disaat yang lain mengganggunya. Ternyata ia suka diganggu oleh teman-temannya. Sakit hatiku melihat Kakakku diganggu seperti itu. Yang lebih sakit ketika dia didorong sampai terjatuh dari kursi rodanya, membiarkan ia berjalan dengan cara menyeret kedua kakinya yang tak berdaya itu di jalan, karena mereka mengambil kursi rodanya. Mereka juga mengambil tasnya dan menghamburkan semua buku-buku yang ada di dalamnya, lalu membuang jauh tasnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa disaat yang lain melakukan itu padanya. Rasanya aku ingin membalas semua perbuatan mereka yang sudah pernah dilakukannya pada Kakak. Aku pernah mencoba untuk membalasnya atau melawan mereka disaat mereka melakukan perbuatan itu, tapi Kakak selalu melarangku, dia tidak mau aku menjadi seseorang yang pedendam, yang suka membalas kejahatan dengan kejahatan. Walaupun ia selalu mendapatkan perilaku yang seperti itu dari teman-temannya, ia tidak pernah cerita kepadaku ataupun kepada Ibu. Setiap kali pulang sekolah pun wajahnya terlihat biasa saja.

Sayangnya kebiasaan itu tidak berlangsung lama, hanya berlangsung selama tiga bulan. Aku memutuskan untuk tidak lagi mengantarkannya sampai ke dalam kelas, tidak lagi menunggunya ketika ia belum pulang, dan tidak lagi membelanya ketika dia diganggu dengan teman-temannya setelah teman-temanku tahu dia adalah Kakakku. Mereka suka mengejek-ejekku, berkata bahwa aku mempunyai seorang Kakak yang cacat. Saat itu aku malu, sangat malu. Setiap kali tiba dikelas aku selalu mendapat ejekkan itu, ejekkan yang selalu membuat semua anak di dalam kelas tertawa mendengarnya. Hubungan aku dengannya pun jadi tidak baik akibat ejekkan teman-temanku yang mengejekku tentang kondisinya. Di rumah kami tidak saling bicara, walau sebenarnya dia sudah mencoba untuk berbicara denganku, tapi aku selalu menghindar jika setiap kali dia mendekatiku. Aku juga sudah tidak lagi membantunya disetiap kali ia meminta bantuanku. Aku memang benar-benar Adik yang jahat sudah tega membiarkan Kakakku menghadapi semuanya sendiri karena kegengsianku pada yang lain. Tapi, ketika waktu berselang seminggu aku memutuskan untuk meminta maaf padanya. Aku sadar, seharusnya aku tidak berlaku seperti itu dengannya. Meski semarah, segengsi, dan semalu apa pun aku tidak bisa merubah keadaannya dan tidak bisa menentang kehendaknya. Aku bukan anak kecil lagi yang masih suka memikirkan diriku sendiri dan memikirkan kesenanganku sendiri. Tapi aku sudah remaja yang pemikiranku sudah mulai dewasa, sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Jika aku masih begitu, berarti sama saja aku seperti anak kecil.

Namun disaat aku benar-benar sudah menyayanginya dengan tulus dari hatiku aku tertimpa musibah, musibah yang mengakibatkan aku kehilangan pengelihatanku, musibah yang terjadi karena teman-temannya. Saat itu aku mencoba menghalangi mereka ketika sedang mengganggunya, tapi mereka malah mendorongku hingga jatuh sampai ke jalan raya, dan saat itu juga ada sebuah mobil yang sedang melaju menuju ke arahku. Aku panik, aku ingin segera pergi dari tempat itu agar aku tidak tertabrak mobil. Namun kepanikanku membuatku sulit untuk menggerakkan tubuhku, sampai pada akhirnya aku tertabrak mobil itu. Aku juga panik ketika sadar pandangan mataku berubah menjadi gelap, aku takut mataku tidak bisa melihat. Dan ketakutanku benar-benar terjadi. Aku menangis dan menyalahkan teman-temannya, karena mereka aku jadi kehilangan pengelihatanku. Kalau dia tidak mendorongku sampai ke jalan saat itu, aku tidak mungkin tertabrak mobil sampai menjadi buta seperti ini. Kakak menyuruhku untuk sabar menerima keadaanku yang seperti ini, dan dia juga selalu menyemangatiku. Percuma saja aku menangis dan selalu menyalahkan teman-temannya, kalau pada akhirnya mataku akan tetap tidak bisa melihat lagi.

Sebulan sudah aku menjalani hari-hariku dalam kegelapan. Selama itu Kakak selalu menemaniku, menjadi penerang di setiap langkahku, karena dia selalu membantuku dalam melakukan aktivitasku yang tidak bisa kulakukan sendiri sekarang. Ketika aku selesai mandi, dia yang selalu menyisiri rambutku yang panjangnya sudah sampai sepinggul. Ketika kami makan, dia juga yang selalu menyuapiniku. Padahal, kalau masalah makan aku bisa sendiri, tapi Kakak memaksaku agar dia yang menyuapiniku. Disetiap malam tiba, dia selalu datang kekamarku, menemani malamku yang gelap dan sepi dengan caranya yang mengajakku mengobrol. Terkadang dia suka tertidur di atas kursi rodanya menemaniku ketika aku sudah terlelap dalam tidurku. Dia begitu sabar membantuku, dia juga tidak pernah merasa direpotkan karena telah membantuku, tidak seperti aku dulu kepadanya yang selalu marah-marah jika dia meminta bantuanku. Aku jadi malu sendiri. Seharusnya aku yang membantunya, bukan malah dia yang membantuku. Tapi ketika dia mendekati ujian nasional, dia tidak lagi menemaniku, bahkan tidak lagi melakukan kebiasaan yang selalu dia lakukan padaku, yaitu membantuku, karena dia sibuk untuk mempersiapkan ujian nasionalnya itu. Sebenarnya aku ingin dia tetap selalu menemaniku, tapi aku tidak bisa menyalahkan keadaan, Kakak begitu juga kan untuk kebaikannya. Aku tidak boleh egois, dia lulus dengan nilai yang terbaik aku aku juga yang akan senang.

Mengingat sekolah, aku jadi rindu sekolah. Aku rindu belajar bersama teman-teman, dan yang paling aku rindukan saat makan ice cream bersama Kakak sepulang sekolah di toko ice cream yang tidak jauh dari sekolah. Aku jadi rindu saat-saat itu, saat dimana kami mengobrol, bercanda, dan menghabiskan waktu hanya berdua. Tidak peduli pandangan orang lain ketika melihatnya, yang penting kami bisa bersama-sama berdua. Jika uang jajan kami habis, kami pulang dengan berjalan kaki. Ketika sampai di rumah Ibu memarahi kami, karena kami pulang sampai sore, dan bahkan sampai hari berubah menjadi gelap. Aku tidak pernah merasa capek mendorongnya dari toko ice cream sampai pulang ke rumah yang memakan waktu sampai setengah jam, dua kali lebih lama dibandingkan kami naik angkutan umum. Tapi saat malam harinya, kakiku terasa pegal-pegal dan sakit, sampai-sampai aku menangis merasakannya. Mungkin karena aku belum terbiasa berjalan kaki selama itu, jadinya seperti itu. Dia memijat-mijat kakiku ketika tahu aku menangis karena kecapekan berjalan sambil mendorongnya, dia juga meminta maaf kepadaku karena sudah membuatku begitu. Aku mau mendorongnya kemana pun yang dia mau, sejauh apa pun dan selama apa pun, asalkan aku bisa buat dia bahagia. Aku ingin membuatnya bahagia. Aku rela jika harus bertukar posisi dengannya walau hanya sehari, jangankan sehari, selamanya pun aku rela, asalkan dia bisa bahagia, asalkan dia bisa tumbuh menjadi seperti anak seusianya pada umumnya, yang bisa melakukan banyak hal yang ia mau tanpa harus ada yang menghalanginya. Aku pernah bertanya padanya apa dia bahagia dengan hidupnya yang seperti itu, dia menjawab hidupnya bahagia karena sudah memiliki Adik sepertiku. Bagiku itu hal yang wajar jika seseorang bahagia karena telah memiliki Adik, tapi maksud pertanyaanku disini tuh berbeda, bukan masalah bahagia karena sudah memiliki Adik. 

Bahagia memang tidak selalu senang, dan senang tidak selalu bahagia. Mungkin itu yang bisa aku simpulkan saat bertanya tentang kebahagiaannya.
Tapi walaupun begitu, Kakak tidak pernah mengeluh dalam menjalani hidupnya, dia begitu semangat melakukan aktivitas sehari-harinya meski kondisinya seperti itu. Aku bangga memiliki Kakak sepertinya, meski dia tidak sesempurna dengan Kakak-kakak yang lain. 

Bagiku Kakak yang sempurna tidak harus memiliki fisik yang sempurna juga, Kakak yang sempurna adalah Kakak yang bisa mengajarkan semua hal tentang kebaikan kepada Adiknya. Kakak mengajariku untuk tidak mengeluh dan tidak berputus asa, terus bersemangat dalam menjalani hidup ini, bersabar dan kuat ketika tertimpa masalah dan cobaan. Kakak adalah inspirasiku untuk bisa hidup menjadi yang lebih baik lagi, karena aku masih suka mengeluh dan kurang bersabar dalam menjalani hidup dan menghadapi masalah yang ada.

Sampai pada akhirnya hari ujian nasional pun tiba. Disaat-saat seperti itu yang membuat hubungan kami semakin menjauh. Aku menjadi merasa sendiri dan kesepian, juga kini melakukan sesuatu dengan sendiri, karena Kakak tidak ada lagi untuk membantuku. Sebenarnya masih ada Ibu yang siap membantuku, tapi entah kenapa aku tidak mau dibantu oleh Ibu, aku hanya mau dibantu olehnya. Selagi Kakak menghadapi ujian nasional, aku hanya bisa berdoa untuknya setiap malam agar dia bisa dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku yakin dia bisa menjawab dengan baik, meski kondisinya terbatas, tapi pikirannya tidak. Contohnya dia selalu membantuku dalam mengerjakan PR disaat aku kesulitan mengerjakannya, saat kami melaksanakan ujian semester pun dia membantuku. Aku tidak menyangka akan seruang, bahkan duduk semeja dengannya. Setiap kali guru yang datang mengawasi ruang kami, pasti perhatiannya tertuju pada kami, melihat wajah kami yang hampir mirip dan nama belakang kami yang sama. Dia juga selalu masuk tiga besar di kelas, terkadang menjadi juara di kelasnya, mengalahkan teman-temannya yang suka mengganggunya. Sebab itulah yang membuatku yakin dia akan bisa mengerjakan ujiannya.

Aku memilih tidak ke luar kamar selama Kakak tidak ada di rumah, sampai-sampai aku tidak minum ketika aku haus, dan tidak makan ketika aku lapar. Pernah aku mencoba mengambil minum sendiri, tapi belum sampai dapur aku sudah terjatuh karena menabrak sekeliling. Mulai saat itu aku tidak lagi melakukan apa-apa sendiri, karena takut akan terjatuh lagi. Tapi jika aku terus menerus mengasumsi akan terjatuh, sampai kapan pun aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan sendiri. Kapan aku mandirinya kalau masih mengharapkan dibantu orang lain?

Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam

0 komentar:

Posting Komentar