Minggu, 06 November 2016

Sebuah Janji (Part 2)

Back to 8 years later…
Arya membuka mulut perlahan, akan menjawab pertanyaan Rima. Namun saat ia akan menjawab, seseorang memasuki ruangan poklinik.

“Permisi…” Ucap suara itu.
“Oh silakan…” Kata Bu Rahmi ramah. Masuklah seorang wanita cantik dan modis.
“Udah periksanya?” Tanya wanita itu pada Arya. Ia lalu tersenyum pada dokter di hadapannya.
Rima tercengang. Ia berusaha membaca situasi di depannya. Pandangan Rima teralih ke sebentuk cincin yang melingkar di jari manis tangan kiri Arya, cincin itu serupa dengan yang melingkar di jari manis wanita itu. Seketika itu juga ia menarik kesimpulan. Lalu hatinya hancur berkeping-keping…

“Kamu tunggu di luar aja, sebentar lagi kok periksanya!” Kata Arya dengan kesal. Ia jelas kaget wanita itu muncul tiba-tiba di hadapan Rima.
“Kok kamu kasar gitu sih ngomong sama tunangan sendiri?” Sungut wanita itu. “Maaf Dok, Sus, saya tunggu di luar aja. Permisi…” Wanita itu ke luar dan menutup pintu.

Rima merasa jiwanya tidak lagi bersatu dengan tubuhnya. Pria yang mati-matian ia tunggu selama 7 tahun sudah bertunangan dengan wanita lain. Pandangan Rima mendadak kabur. Nafasnya mulai sesak.
“Ehm.. Rima..” Arya salah tingkah. “Ini nggak seperti yang kamu lihat Rim… dia…”
“Selamat ya, akhirnya kamu bisa dapetin orang yang pantas menjadi ibu dari anak-anak kamu. Aku turut seneng ngedengernya, Arya.” Potong Rima cepat setelah ia berusaha kuat menguasai diri.
“Rima…”
“Maaf Arya, tapi poliklinik seharusnya sudah tutup dari tadi, hanya kami berusaha memberikan pelayanan sebaik mungkin, sehingga meski pasien datang terlambat, kami akan tetap menunggu.”
“Rima, tolong dengerin penjelasan aku dulu…”
“Pak Arya, saya sama suster juga mau istirahat. Tolong Bapak kooperatif, saya akan periksa dan kasih resep untuk Bapak secepatnya. Jadi apa keluhan Bapak?”

Rima menangis sesenggukan di dalam mobilnya. Betapa teganya Arya mengkhianati dirinya. Atau lebih tepatnya betapa bodohnya ia mempercayai begitu saja janji Palsu Arya. Membuat ia menolak lamaran pria yang datang padanya. Atau lebih tepatnya menolak semua cinta yang datang setelah Arya. Karena ia terlalu mempercayai janji Arya. Semuanya telah berakhir. Rima berniat bangkit. Bukankah ia sudah biasa sakit, jatuh, dicemooh, dihina? Tapi dikhianati lebih sakit dari apapun.

Sebulan berlalu. Rima memutuskan untuk tidak berlarut dalam kesedihan. Efek dari semua ini ialah Rima menjadi sulit percaya pada orang. Bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Selama sebulan lebih, Arya tak lagi menampakkan diri. Rima paham, Arya sudah terlanjur mengikat janji baru dengan tunangannya. Semoga mereka segera menikah, dan hidup bahagia, doa Rima dalam hati.
“Dok, ada paket kiriman,” Kata Bu Rahmi ketika poliklinik baru saja usai. Rima mengernyitkan dahinya. Bu
 Rahmi menyerahkan sebuah kotak besar berwarna biru muda bertuliskan:

Kepada:
Yth.
Dr. Rima Auliani
Di tempat
Rima menerima kotak biru itu. “Dari siapa ya Bu?” Tanya Rima setelah ia mencari-cari alamat si pengirim dan tidak menemukannya.
“Nggak tau Dok, tadi orang dari administrasi yang nganterin,” Jawab Bu Rahmi. “Dok, saya bener-bener mendoakan, semoga dokter cepat berjodoh dengan laki-laki yang baik.”
Rima tersenyum, “Makasih Bu.”
Di rumah, Rima mulai membuka kotak biru itu. Isinya ternyata sebuah buku catatan yang cukup tebal. Sampul buku itu sudah hampir lepas, menunjukkan bila buku tersebut sering sekali digunakan. Rima bingung. Siapa yang mengirimkan buku catatan ‘lecek’ ini padanya? Dan apa maksudnya mengirimkan semua ini?
Rima membuka halaman depan buku itu…
Arya Indrawijaya
All about My Dreams, My Love, and My Life, RIMA AULIANI
Begitu tulisan pertama yang dibaca Rima. Hati Rima kembali sakit. Arya memberikan buku diarynya pada Rima! Apakah ini hadiah perpisahan dari Arya?

15 Agustus 2003
Penjual gorengan itu bernama Rima. Entah kenapa, setiap melihat ia bersepada di siang yang terik, aku tak rela. Ingin kuberi tumpangan, ia sering menolak. Ah… Rima.. Rima… Rima… aku baru sadar, mimpiku mulai dihantui oleh Rima.

25 September 2003
Aku selalu lapar, bila melihat gorengan-gorengan milik Rima di kantin. Setiap memakan gorengan itu, aku membayangkan Rima membuat gorengan itu dengan tangannya.. Aaahhh… aku bener-bener gila!

7 Desember 2003
Aku benar-benar marah! Bila tak ingat ia adalah wanita, aku mungkin udah menampar mulut busuknya itu! Damned Sofie!! Menyakiti Rima berarti menyakiti aku 10 kali lipat! Siapa peduli latar belakang Rima? Siapa peduli ia tukang gorengan? Aku menyukainya! Jadi bila aku menyukai seorang tukang gorengan, apakah itu masalah??!

Rima berhenti sejenak. Air matanya mulai membasahi buku diary Arya. Ia meraih tissue di meja. Membaca buku diary Arya mengingatkan dirinya pada kehidupan masa lalunya yang penuh derita dan air mata. Namun kuasa Allah begitu besar. Saat ini ia duduk tidak lagi sebagai tukang gorengan yang dicemooh teman sekolahnya, melainkan sebagai seorang dokter, profesi yang banyak dikagumi semua orang.

15 Juli 2004
Aku ingin kuliah ke luar negeri. Cambridge University pilihanku. Public Relations. Aku ingin sukses seperti Papa, dan kelak aku ingin mengajak Rima mengarungi hidup bersama, dalam ikatan perkawinan. Tentu bila ia bersedia. Wah, aku terlalu percaya diri… bisa saja Rima menolakku! Ya Allah, buat hati Rima menerimaku, 7 tahun lagi! Please…

December 19 th, 2004
Baru beberapa bulan aku di sini, rasanya seperti berabad-abad… aku kangen Rima! Udara yang cukup ekstrem hingga minus 15 derajat bikin aku makin pengen pulang!
Rima berhenti lagi membaca. Ia mengusap-usap goresan tinta yang menuliskan namanya di buku diary itu. Setitik air matanya menetes membasahi tulisan Arya dan membuat kertas diary itu menebal basah.
Rima melanjutkan membaca. Arya setidaknya menulis diary itu sebulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Namun tahun demi tahun yang bertambah setiap Rima bergerak maju membuka lembar demi lembarnya, namanya tak pernah absen dari diary itu. Itu menunjukkan Arya cukup setia untuk waktu yang lama.
Mata Rima mulai bergerak ke tahun-tahun yang mulai mendekati tahun sekarang. Arya menceritakan bagaimana akhirnya ia lulus dari University of Cambridge dengan nilai-nilai memuaskan. Meskipun tidak meraih gelar cumlaude, prestasinya cukup membanggakan. Dan bagaimana Arya memutuskan untuk melanjutkan S2 di sana, bagaimana akhirnya ia menemui hambatan dalam pengerjaan tesisnya hingga masa kuliahnya mundur…
Akhirnya, Mata Rima bergerak membaca tulisan Arya di tahun terkini…

6 Januari 2011
I’m Home! 7 tahun berlalu tanpa terasa. Aku begitu merindukan papa, mama, rumah, semuanya… dan aku juga merindukan Rima. Aku menang! Aku berhasil memenuhi separuh dari janjiku 7 tahun lalu pada Rima. Yah, tinggal 50% lagi, 10% untuk mencarinya, 20% untuk melamarnya, dan 20% untuk menikahinya.

8 Januari 2011
INI GILA. BENER-BENER GILA! Siapa cewek norak itu? Kenapa Papa sama Mama nggak pernah bilang mau ngejodohin aku? Sama cewek norak lagi! Aaarrrggghhh!!! Please Mam, Pap… anak kalian baru aja pulang dari negeri yang jauh, menuntut ilmu… kenapa kalian malah bikin bencana besar buat aku sih?! Tau gini, mending lanjutin S3 sekalian di sana!

9 January 2011
Oke. Alasan klise. Mau ngejodohin aku dengan cucu pengusaha besar, yang tak lain adalah cucu sahabat kakek. Aku dituntut harus menerima semua malapetaka ini, karena kakek telah terlanjur mengucapkan keinginannya itu untuk menjodohkan aku dengan cucu sahabat dekatnya, sebelum Kakek meninggal tahun lalu. Damn…

10 January 2011
Mama dan Papa menangis di hadapanku. Mereka memohon kepadaku untuk bersedia menerima perjodohan itu, demi keinginan terakhir Kakek. Rasa cinta akan tumbuh seiring waktu, itu alasan klise mereka. Hatiku berontak. Jiwaku merana. Aku ingin kabur ke luar negeri dan tak kembali lagi. Namun aku teringat Rima dan janjiku padanya. 4 hari yang lalu aku senang karena berhasil memenuhi 50% janjiku padanya. Namun kini aku malah akan menghapus 50% itu, dan menggantinya dengan 100% penderitaan!

15 Maret 2011
Aku telah bertunangan dengan orang yang tak kucintai. Kadang aku teringat Kakek dan sifatnya yang keras. Tak seorang pun berani membantahnya. Seandainya Kakek masih hidup, dan tahu aku tak bahagia dengan pilihannya, apakah Kakek masih ingin memaksaku?

30 Maret 2011
Ini puncak segalanya. Aku demam 5 hari belakangan ini. Belum lagi rasa mual dan nafsu makan yang menurun. Mama menyuruh Rani untuk menemaniku berobat. Dan aku pun bertemu dengan satu-satunya perempuan di dunia ini yang mengisi ruang hatiku lebih dari 8 tahun tanpa tergantikan oleh siapapun. Dokter Rima Auliani. Penjual gorengan yang sering diremehkan teman-temannya itu kini bertransformasi menjadi seorang wanita yang tak mungkin lagi ada yang berani merendahkannya. Ia bertambah cantik dalam balutan jilbabnya. Belum lagi profesi mulia yang ia sandang. Senyumnya masih sama seperti 8 tahun yang lalu. Aku kaget dan tak menyangka. Namun kebahagianku karena bertemu cinta abadiku itu dengan cepat musnah, saat aku tersadar aku telah bertunangan, dan wanita sumber petaka itu ada di luar menungguku. Hatiku bergetar hebat. Rima masih memenuhi janjinya. Aku bahagia, ia mau menunggu untukku. Namun apalah arti semua ini, penantian kami lebur oleh ketukan pintu Rani, sosoknya yang memasuki ruang praktek dokter, dan menyebut-nyebut dirinya sebagai tunanganku. Hatiku pecah berkeping-keping. Rima membenciku. Ia menyangka aku mengingkari janji kami…

7 April 2011
Aku benar-benar sakit. Typus. Rima mengatakan kemungkinan aku menderita penyakit ini seminggu lalu, waktu aku berobat padanya. Dan hasil tes darahku yang kedua kalinya pagi tadi menunjukkan aku benar-benar terinfeksi Salmonella. Aku hanya mampu tergolek lemah di tempat tidur karena aku menolak rawat inap. Saat Mama dan Papa menghampiri tempat tidurku, aku berkata terus terang kepada mereka, bahwa aku tak bahagia bertunangan dengan Rani. Aku mencintai wanita lain. Kukatakan pada mereka untuk nikahkan saja aku dengan Rani, bila mereka ingin aku mati pelan-pelan lalu menyusul almarhum kakek. Mama menangis memohon maaf padaku. Papa tak mampu berkata-kata. Mama malahan meminta Papa untuk membatalkan tunangan ini. Kakek telah meninggal, dan beliau pun ingin cucunya bahagia. Rupanya ucapanku kali ini benar-benar mempengaruhi mereka. Mama dan Papa berjanji padaku akan mengatur semuanya. Yah, tak mudah memutuskan tali pertunangan dengan cucu pengusaha besar. Bisa terjadi permusuhan besar yang berujung pada meja hijau…

29 April 2011
Aku tak tahu apakah peristiwa hari ini bencana atau anugerah. Tepatnya bencana untuk Rani dan anugerah untukku. Aku mendapati Rani kencan dengan pria bule di sebuah restaurant Jepang. Awalnya aku curiga karena Rani sering menerima telepon sembunyi-sembunyi. Hingga kemarin siang, aku menguping pembicaraan Rani di telepon, yang penuh ungkapan sayang, dan mereka membuat janji bertemu di restaurant itu. Aku benar-benar bahagia mendengar ini. Segera kuikuti gerak-gerik Rani, kurekam saat ia sedang bermesraan dengan bule itu. Lalu aku mendatangi mereka, penuh senyum kemenangan. Kukatakan aku senang, akhirnya aku menemukan alasan yang bagus untuk memutuskan tali pertunangan dengan wanita murahan seperti Rani! Betapa jauh lebih berharganya Rima-ku dibandingkan perempuan jal*ng itu. Rani menangis mohon maaf padaku, namun percuma saja. Aku benar-benar bahagia! Tak butuh waktu lama untuk menampilkan video ini pada Papa, Mama, dan orangtua serta Kakek Rani. Lalu selamatlah aku dari malapetaka. Alhamdulillah…

30 April 2011
Problem Solved! Ini seperti mimpi. Semudah inikah aku selamat dari kandang macan? Sekarang tinggal memikirkan cara, bagaimana membuat Rima menerimaku lagi, dan percaya bila aku tak pernah sedikitpun mengkhianatinya.
Rima membuka lembar terakhir diary Arya. Ia tak menemukan tulisan apapun lagi dari lembaran diary itu. Matanya membengkak merah, hidungnya seperti sedang flu berat. Rima membalik-balik halaman diary itu, mencari kata-kata lain. Baik itu alamat rumah, maupun nomer telepon. Namun ia tak menemukannya. Sesaat sebelum menyerah, Rima mengerling kotak biru yang digunakan untuk membungkus diary itu. Ada kertas kecil yang ditempel di dasar kotak biru itu, dan sedari tadi Rima tidak melihatnya karena terlalu penasaran dengan diary itu. Rima membaca tulisan Arya di kertas itu:
Would you marry me, Dr. Rima Auliani?
Call me please, 0851200386
With love, Arya Indrawijaya

Rima tersenyum bahagia, terutama saat membaca 6 digit terakhir nomer handphone Arya, yang merupakan kombinasi tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Rima.

THE END
 
Cerpen Karangan: Dayu Swasti Kharisma
Facebook: Dayu Swasti Kharisma

Sumber :


0 komentar:

Posting Komentar