Back to 8 years later…
Arya membuka mulut perlahan, akan menjawab pertanyaan Rima. Namun saat ia akan menjawab, seseorang memasuki ruangan poklinik.
“Permisi…” Ucap suara itu.
“Oh silakan…” Kata Bu Rahmi ramah. Masuklah seorang wanita cantik dan modis.
“Udah periksanya?” Tanya wanita itu pada Arya. Ia lalu tersenyum pada dokter di hadapannya.
Rima tercengang. Ia berusaha membaca situasi di depannya. Pandangan Rima
teralih ke sebentuk cincin yang melingkar di jari manis tangan kiri
Arya, cincin itu serupa dengan yang melingkar di jari manis wanita itu.
Seketika itu juga ia menarik kesimpulan. Lalu hatinya hancur
berkeping-keping…
“Kamu tunggu di luar aja, sebentar lagi kok periksanya!” Kata Arya
dengan kesal. Ia jelas kaget wanita itu muncul tiba-tiba di hadapan
Rima.
“Kok kamu kasar gitu sih ngomong sama tunangan sendiri?” Sungut wanita
itu. “Maaf Dok, Sus, saya tunggu di luar aja. Permisi…” Wanita itu ke
luar dan menutup pintu.
Rima merasa jiwanya tidak lagi bersatu dengan tubuhnya. Pria yang
mati-matian ia tunggu selama 7 tahun sudah bertunangan dengan wanita
lain. Pandangan Rima mendadak kabur. Nafasnya mulai sesak.
“Ehm.. Rima..” Arya salah tingkah. “Ini nggak seperti yang kamu lihat Rim… dia…”
“Selamat ya, akhirnya kamu bisa dapetin orang yang pantas menjadi ibu
dari anak-anak kamu. Aku turut seneng ngedengernya, Arya.” Potong Rima
cepat setelah ia berusaha kuat menguasai diri.
“Rima…”
“Maaf Arya, tapi poliklinik seharusnya sudah tutup dari tadi, hanya kami
berusaha memberikan pelayanan sebaik mungkin, sehingga meski pasien
datang terlambat, kami akan tetap menunggu.”
“Rima, tolong dengerin penjelasan aku dulu…”
“Pak Arya, saya sama suster juga mau istirahat. Tolong Bapak kooperatif,
saya akan periksa dan kasih resep untuk Bapak secepatnya. Jadi apa
keluhan Bapak?”
—
Rima menangis sesenggukan di dalam mobilnya. Betapa teganya Arya
mengkhianati dirinya. Atau lebih tepatnya betapa bodohnya ia mempercayai
begitu saja janji Palsu Arya. Membuat ia menolak lamaran pria yang
datang padanya. Atau lebih tepatnya menolak semua cinta yang datang
setelah Arya. Karena ia terlalu mempercayai janji Arya. Semuanya telah
berakhir. Rima berniat bangkit. Bukankah ia sudah biasa sakit, jatuh,
dicemooh, dihina? Tapi dikhianati lebih sakit dari apapun.
Sebulan berlalu. Rima memutuskan untuk tidak berlarut dalam
kesedihan. Efek dari semua ini ialah Rima menjadi sulit percaya pada
orang. Bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Selama sebulan lebih, Arya
tak lagi menampakkan diri. Rima paham, Arya sudah terlanjur mengikat
janji baru dengan tunangannya. Semoga mereka segera menikah, dan hidup
bahagia, doa Rima dalam hati.
“Dok, ada paket kiriman,” Kata Bu Rahmi ketika poliklinik baru saja
usai. Rima mengernyitkan dahinya. Bu
Rahmi menyerahkan sebuah kotak
besar berwarna biru muda bertuliskan:
Kepada:
Yth.
Dr. Rima Auliani
Di tempat
Rima menerima kotak biru itu. “Dari siapa ya Bu?” Tanya Rima setelah ia mencari-cari alamat si pengirim dan tidak menemukannya.
“Nggak tau Dok, tadi orang dari administrasi yang nganterin,” Jawab Bu
Rahmi. “Dok, saya bener-bener mendoakan, semoga dokter cepat berjodoh
dengan laki-laki yang baik.”
Rima tersenyum, “Makasih Bu.”
Di rumah, Rima mulai membuka kotak biru itu. Isinya ternyata sebuah
buku catatan yang cukup tebal. Sampul buku itu sudah hampir lepas,
menunjukkan bila buku tersebut sering sekali digunakan. Rima bingung.
Siapa yang mengirimkan buku catatan ‘lecek’ ini padanya? Dan apa
maksudnya mengirimkan semua ini?
Rima membuka halaman depan buku itu…
Arya Indrawijaya
All about My Dreams, My Love, and My Life, RIMA AULIANI
Begitu tulisan pertama yang dibaca Rima. Hati Rima kembali sakit.
Arya memberikan buku diarynya pada Rima! Apakah ini hadiah perpisahan
dari Arya?
15 Agustus 2003
Penjual gorengan itu bernama Rima. Entah kenapa, setiap melihat ia
bersepada di siang yang terik, aku tak rela. Ingin kuberi tumpangan, ia
sering menolak. Ah… Rima.. Rima… Rima… aku baru sadar, mimpiku mulai
dihantui oleh Rima.
25 September 2003
Aku selalu lapar, bila melihat gorengan-gorengan milik Rima di kantin.
Setiap memakan gorengan itu, aku membayangkan Rima membuat gorengan itu
dengan tangannya.. Aaahhh… aku bener-bener gila!
7 Desember 2003
Aku benar-benar marah! Bila tak ingat ia adalah wanita, aku mungkin udah
menampar mulut busuknya itu! Damned Sofie!! Menyakiti Rima berarti
menyakiti aku 10 kali lipat! Siapa peduli latar belakang Rima? Siapa
peduli ia tukang gorengan? Aku menyukainya! Jadi bila aku menyukai
seorang tukang gorengan, apakah itu masalah??!
Rima berhenti sejenak. Air matanya mulai membasahi buku diary Arya.
Ia meraih tissue di meja. Membaca buku diary Arya mengingatkan dirinya
pada kehidupan masa lalunya yang penuh derita dan air mata. Namun kuasa
Allah begitu besar. Saat ini ia duduk tidak lagi sebagai tukang gorengan
yang dicemooh teman sekolahnya, melainkan sebagai seorang dokter,
profesi yang banyak dikagumi semua orang.
15 Juli 2004
Aku ingin kuliah ke luar negeri. Cambridge University pilihanku. Public
Relations. Aku ingin sukses seperti Papa, dan kelak aku ingin mengajak
Rima mengarungi hidup bersama, dalam ikatan perkawinan. Tentu bila ia
bersedia. Wah, aku terlalu percaya diri… bisa saja Rima menolakku! Ya
Allah, buat hati Rima menerimaku, 7 tahun lagi! Please…
December 19 th, 2004
Baru beberapa bulan aku di sini, rasanya seperti berabad-abad… aku
kangen Rima! Udara yang cukup ekstrem hingga minus 15 derajat bikin aku
makin pengen pulang!
Rima berhenti lagi membaca. Ia mengusap-usap goresan tinta yang
menuliskan namanya di buku diary itu. Setitik air matanya menetes
membasahi tulisan Arya dan membuat kertas diary itu menebal basah.
Rima melanjutkan membaca. Arya setidaknya menulis diary itu sebulan
sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Namun tahun demi tahun yang
bertambah setiap Rima bergerak maju membuka lembar demi lembarnya,
namanya tak pernah absen dari diary itu. Itu menunjukkan Arya cukup
setia untuk waktu yang lama.
Mata Rima mulai bergerak ke tahun-tahun yang mulai mendekati tahun
sekarang. Arya menceritakan bagaimana akhirnya ia lulus dari University
of Cambridge dengan nilai-nilai memuaskan. Meskipun tidak meraih gelar
cumlaude, prestasinya cukup membanggakan. Dan bagaimana Arya memutuskan
untuk melanjutkan S2 di sana, bagaimana akhirnya ia menemui hambatan
dalam pengerjaan tesisnya hingga masa kuliahnya mundur…
Akhirnya, Mata Rima bergerak membaca tulisan Arya di tahun terkini…
6 Januari 2011
I’m Home! 7 tahun berlalu tanpa terasa. Aku begitu merindukan papa,
mama, rumah, semuanya… dan aku juga merindukan Rima. Aku menang! Aku
berhasil memenuhi separuh dari janjiku 7 tahun lalu pada Rima. Yah,
tinggal 50% lagi, 10% untuk mencarinya, 20% untuk melamarnya, dan 20%
untuk menikahinya.
8 Januari 2011
INI GILA. BENER-BENER GILA! Siapa cewek norak itu? Kenapa Papa sama Mama
nggak pernah bilang mau ngejodohin aku? Sama cewek norak lagi!
Aaarrrggghhh!!! Please Mam, Pap… anak kalian baru aja pulang dari negeri
yang jauh, menuntut ilmu… kenapa kalian malah bikin bencana besar buat
aku sih?! Tau gini, mending lanjutin S3 sekalian di sana!
9 January 2011
Oke. Alasan klise. Mau ngejodohin aku dengan cucu pengusaha besar, yang
tak lain adalah cucu sahabat kakek. Aku dituntut harus menerima semua
malapetaka ini, karena kakek telah terlanjur mengucapkan keinginannya
itu untuk menjodohkan aku dengan cucu sahabat dekatnya, sebelum Kakek
meninggal tahun lalu. Damn…
10 January 2011
Mama dan Papa menangis di hadapanku. Mereka memohon kepadaku untuk
bersedia menerima perjodohan itu, demi keinginan terakhir Kakek. Rasa
cinta akan tumbuh seiring waktu, itu alasan klise mereka. Hatiku
berontak. Jiwaku merana. Aku ingin kabur ke luar negeri dan tak kembali
lagi. Namun aku teringat Rima dan janjiku padanya. 4 hari yang lalu aku
senang karena berhasil memenuhi 50% janjiku padanya. Namun kini aku
malah akan menghapus 50% itu, dan menggantinya dengan 100% penderitaan!
15 Maret 2011
Aku telah bertunangan dengan orang yang tak kucintai. Kadang aku
teringat Kakek dan sifatnya yang keras. Tak seorang pun berani
membantahnya. Seandainya Kakek masih hidup, dan tahu aku tak bahagia
dengan pilihannya, apakah Kakek masih ingin memaksaku?
30 Maret 2011
Ini puncak segalanya. Aku demam 5 hari belakangan ini. Belum lagi rasa
mual dan nafsu makan yang menurun. Mama menyuruh Rani untuk menemaniku
berobat. Dan aku pun bertemu dengan satu-satunya perempuan di dunia ini
yang mengisi ruang hatiku lebih dari 8 tahun tanpa tergantikan oleh
siapapun. Dokter Rima Auliani. Penjual gorengan yang sering diremehkan
teman-temannya itu kini bertransformasi menjadi seorang wanita yang tak
mungkin lagi ada yang berani merendahkannya. Ia bertambah cantik dalam
balutan jilbabnya. Belum lagi profesi mulia yang ia sandang. Senyumnya
masih sama seperti 8 tahun yang lalu. Aku kaget dan tak menyangka. Namun
kebahagianku karena bertemu cinta abadiku itu dengan cepat musnah, saat
aku tersadar aku telah bertunangan, dan wanita sumber petaka itu ada di
luar menungguku. Hatiku bergetar hebat. Rima masih memenuhi janjinya.
Aku bahagia, ia mau menunggu untukku. Namun apalah arti semua ini,
penantian kami lebur oleh ketukan pintu Rani, sosoknya yang memasuki
ruang praktek dokter, dan menyebut-nyebut dirinya sebagai tunanganku.
Hatiku pecah berkeping-keping. Rima membenciku. Ia menyangka aku
mengingkari janji kami…
7 April 2011
Aku benar-benar sakit. Typus. Rima mengatakan kemungkinan aku menderita
penyakit ini seminggu lalu, waktu aku berobat padanya. Dan hasil tes
darahku yang kedua kalinya pagi tadi menunjukkan aku benar-benar
terinfeksi Salmonella. Aku hanya mampu tergolek lemah di tempat tidur
karena aku menolak rawat inap. Saat Mama dan Papa menghampiri tempat
tidurku, aku berkata terus terang kepada mereka, bahwa aku tak bahagia
bertunangan dengan Rani. Aku mencintai wanita lain. Kukatakan pada
mereka untuk nikahkan saja aku dengan Rani, bila mereka ingin aku mati
pelan-pelan lalu menyusul almarhum kakek. Mama menangis memohon maaf
padaku. Papa tak mampu berkata-kata. Mama malahan meminta Papa untuk
membatalkan tunangan ini. Kakek telah meninggal, dan beliau pun ingin
cucunya bahagia. Rupanya ucapanku kali ini benar-benar mempengaruhi
mereka. Mama dan Papa berjanji padaku akan mengatur semuanya. Yah, tak
mudah memutuskan tali pertunangan dengan cucu pengusaha besar. Bisa
terjadi permusuhan besar yang berujung pada meja hijau…
29 April 2011
Aku tak tahu apakah peristiwa hari ini bencana atau anugerah. Tepatnya
bencana untuk Rani dan anugerah untukku. Aku mendapati Rani kencan
dengan pria bule di sebuah restaurant Jepang. Awalnya aku curiga karena
Rani sering menerima telepon sembunyi-sembunyi. Hingga kemarin siang,
aku menguping pembicaraan Rani di telepon, yang penuh ungkapan sayang,
dan mereka membuat janji bertemu di restaurant itu. Aku benar-benar
bahagia mendengar ini. Segera kuikuti gerak-gerik Rani, kurekam saat ia
sedang bermesraan dengan bule itu. Lalu aku mendatangi mereka, penuh
senyum kemenangan. Kukatakan aku senang, akhirnya aku menemukan alasan
yang bagus untuk memutuskan tali pertunangan dengan wanita murahan
seperti Rani! Betapa jauh lebih berharganya Rima-ku dibandingkan
perempuan jal*ng itu. Rani menangis mohon maaf padaku, namun percuma
saja. Aku benar-benar bahagia! Tak butuh waktu lama untuk menampilkan
video ini pada Papa, Mama, dan orangtua serta Kakek Rani. Lalu
selamatlah aku dari malapetaka. Alhamdulillah…
30 April 2011
Problem Solved! Ini seperti mimpi. Semudah inikah aku selamat dari
kandang macan? Sekarang tinggal memikirkan cara, bagaimana membuat Rima
menerimaku lagi, dan percaya bila aku tak pernah sedikitpun
mengkhianatinya.
Rima membuka lembar terakhir diary Arya. Ia tak menemukan tulisan
apapun lagi dari lembaran diary itu. Matanya membengkak merah, hidungnya
seperti sedang flu berat. Rima membalik-balik halaman diary itu,
mencari kata-kata lain. Baik itu alamat rumah, maupun nomer telepon.
Namun ia tak menemukannya. Sesaat sebelum menyerah, Rima mengerling
kotak biru yang digunakan untuk membungkus diary itu. Ada kertas kecil
yang ditempel di dasar kotak biru itu, dan sedari tadi Rima tidak
melihatnya karena terlalu penasaran dengan diary itu. Rima membaca
tulisan Arya di kertas itu:
Would you marry me, Dr. Rima Auliani?
Call me please, 0851200386
With love, Arya Indrawijaya
Rima tersenyum bahagia, terutama saat membaca 6 digit terakhir nomer
handphone Arya, yang merupakan kombinasi tanggal, bulan, dan tahun
kelahiran Rima.
THE END
Cerpen Karangan: Dayu Swasti Kharisma
Facebook: Dayu Swasti Kharisma
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar