Minggu, 06 November 2016

Sebuah Janji (Part 1)

Rima menyeruput sejenak teh manis hangat yang tersaji di depannya. Bu Rahmi, perawat di poliklinik umum yang bertugas bersamanya pagi itu telah mulai memanggil nama pasien. Jam memang telah menunjukkan pukul 07.30, waktunya poli pengobatan umum di RS itu dimulai.

“Dok, udah sarapan belum?” Tanya Bu Rahmi sejenak.
“Udah Bu, tadi saya beli bubur di kantin rumah sakit,” Jawab Rima sembari tersenyum.
“Soalnya pasien yang udah daftar lumayan banyak dok pagi ini, ntar dokter lemes lagi…”
“Insya Allah kuat Bu, di puskesmas dulu kan pasien bisa sampai 300 orang,” Jawab Rima kembali. Baginya

Bu Rahmi sudah seperti ibu kandungnya sendiri, yang selalu memperhatikannya.
Pasien demi pasien terlewati. Pukul 12 siang, Rima mulai lelah. Ia menatap meja Bu Rahmi. Status pasien (buku yang berisi catatan medis masing-masing pasien, buku itu disimpan di rumah sakit sebagai catatan riwayat kesehatan pasien) tersisa satu, itu berarti tersisa satu pasien lagi yang akan ia periksa.

“Istirahat dulu Dok, pasien ini sedang ijin keluar sebentar.”
“Iya Bu, saya tungguin aja,” Jawab Rima. Ia merebahkan kepalanya di atas meja praktek.
“Ngomong-ngomong kapan merit Dok?” Tanya Bu Rahmi tiba-tiba. Rima terkejut.
“Wah, itu pertanyaan paling sulit Bu,” Rima menegakkan kepalanya dan tersenyum pahit.
“Saya dengar Dokter sudah 3 kali menolak lamaran orang, bener ya Dok?”
“Lho, Ibu tau dari mana?” Rima terkejut Bu Rahmi mengetahui hal ini.
“Kemarin, Dokter Wening cerita sama saya.”

Rima menghela napas panjang.
Benar. Ia telah 3 kali menolak lamaran pria. Pria pertama adalah Dokter Muhammad Rayhan, teman kuliahnya selama 6 tahun di Fakultas Kedokteran. Selama 6 tahun pula Rayhan mendekatinya mati-matian, namun Rima selalu menolak dengan halus. Rayhan sedang melanjutkan studi spesialis penyakit dalam saat ini.

Setelah lamarannya ditolak Rima, Rayhan dengan tegas mengatakan tidak akan menikah sebelum Rima menikah. Dengan kata lain Rayhan masih setia menunggu Rima, hingga Rima memutuskan untuk menikah, baik itu dengan pria lain, atau (yang diharapkan Rayhan) dengannya. Lamaran kedua, hanya berjarak 2 bulan dari lamaran Rayhan, berasal dari seorang arsitek muda, Raden Mas Aji Waluyo. Aji adalah teman Rima semasa SMA dulu. Mereka bertemu kembali saat Rima sedang koas (praktek kerja lapangan) di luar kota.

Lamaran terakhir, tepatnya satu bulan yang lalu, datang dari Iqbal Maulana. Pria yang berprofesi sebagai pengusaha muda ini adalah pasien Rima. Awalnya Rima heran, betapa seringnya Iqbal berobat ke RS tempatnya bekerja. Keluhannya berbeda-beda, kadang demam, kadang mencret, kadang berdebar-debar.

Namun Rima akhirnya tahu, dari sekian kali kedatangan Iqbal, hanya kedatangan yang pertama kalilah dimana ia benar-benar sakit. Selanjutnya, Iqbal hanya berpura-pura sakit, sebagai alasan agar ia dapat bertemu Rima.

“Memang benar saya menolak lamaran mereka Bu. Itu karena saya nggak pantas untuk mereka,” Jawab Rima akhirnya.
“Dokter itu cantik, cerdas, dan usia sudah matang, sudah 25 tahun. Apalagi yang ditunggu Dok? Kata orang dulu, pamali nolak lamaran dari pria baik-baik.”
“Ya, saya tahu Bu,” Rima menghela napas panjang kembali. Ia merebahkan kembali kepalanya di atas meja. Sebenarnya ia sudah lelah. Namun bila teringat peristiwa 7 tahun lalu, Rima kembali memiliki kekuatan untuk bertahan.
“Apa… Dokter sedang menunggu… seseorang?” Pertanyaan ini belum sempat dijawab Rima, karena pasien yang terakhir telah datang.
“Selamat siang Bu,” Sapa pasien itu dari balik pintu. Bu Rahmi menerima pasien itu dengan ramah.
“Siang Pak, nomor urut 80?” Bu Rahmi memastikan kembali. Pasien itu mengangguk. “Benar Bu.”
“Silakan duduk Pak,” Kata Rima tanpa melihat kearah pasien itu. Ia memakai kembali kacamatanya dan membenarkan letak jilbabnya sesaat. Ia meraih buku status pasien dan membaca nama pasien itu.
“Bapak Arya Indrawijaya..?” Seketika itu juga Rima merasa sangat familier dengan nama itu. Ia menegakkan kepalanya dan memfokuskan bola matanya pada pasien itu. Detak jantung Rima mendadak berlomba. Napasnya tercekat. Ia tak mungkin salah… orang yang beridiri di hadapannya benar-benar sosok Arya! Pasien itu tampaknya sama kagetnya dengan Rima. Ia tak mampu berkata-kata.
“Arya?” Rima akhirnya mampu menguasai diri.
“Rima?” Arya pun akhirnya bersuara. “Apa kabar Rim?” Tanya Arya penuh senyum kebahagiaan.
“Alhamdulillah, aku baik. Kamu gimana?”
“Alhamdulillah. 7 tahun lebih ya, kita nggak ketemu?” Arya membetulkan letak kacamatanya, lebih karena ia gugup. Rima mengangguk. Ada luapan perasaan yang mati-matian ia tahan. Namun sekuat apapun ia menahan, air matanya menitik juga. Rima buru-buru menghapus air matanya.
“Kamu udah sukses sekarang… selamat Rim,” Ucap Arya. “Kamu berbeda dari 7 tahun yang lalu. Kamu… tambah cantik,” Puji Arya tulus.
“Kamu udah lulus dari Cambridge?” Tanya Rima. Sesekali ia melap air matanya dengan tissue.
Arya terkejut. “Kamu tahu aku sekolah di UK?” Ia tak menyangka Rima tahu hal yang ia sembunyikan dari Rima 7 tahun lalu. Rima mengangguk.
“Dari mana kamu tahu..?” Tanya Arya.
“Aku.. aku denger kamu ngomong sama Rio,” Jawab Rima sambil mengusap mata kanannya dengan punggung tangan. “7 tahun yang lalu…”
“Apa kamu udah… nikah?” Tanya Arya kembali dengan hati-hati. Air mata Rima jatuh lagi. Ia menarik napas dalam.
“Maaf, aku terharu…” Rima segera meraih tissue di meja kerjanya dan buru-buru melap air matanya. “Aku… belum. Hampir sebenernya, tapi…”
“Tapi…?” Arya menanyakan lanjutan jawaban Rima yang terputus.
“Tapi aku memutuskan untuk… menunggu,” Jawab Rima tegas, setelah mati-matian berusaha menguasai diri. “Gimana dengan kamu?” Tanya Rima dengan senyuman. Sebenarnya ia telah siap menerima jawaban apapun itu dari Arya, dari orang yang membuatnya menunggu selama lebih dari 7 tahun, orang yang membuatnya menolak lamaran tiga orang pria sukses, dan orang yang membuatnya tak mampu jatuh cinta lagi.
Arya tersenyum. Ia lega. Sangat lega. Kemudian ia menghela napas panjang, dan membuka mulutnya perlahan bersiap menjawab pertanyaan Rima…

8 years ago…
Seorang gadis berseragam SMU mengayuh sepedanya di tengah perkampungan. Hari masih bisa dibilang gelap. Pukul setengah 6 pagi. Di keranjang depan sepeda tua itu, bertengger bakul berbungkus kain yang berisi berbagai jenis gorengan. Gadis itu akan menitipkan gorengan itu di kantin sekolah. Lumayan untuk tambah-tambah keuangan keluarga. Ayahnya telah lama meninggal. Ibunya hanya berprofesi sebagai tukang cuci di rumah-rumah warga kelas menengah-atas di dekat kampungnya.

“Neng Rima!” Panggil seorang Ibu. Rima menghentikan sepedanya.
“Besok Ibu pesen panada ya, 50 aja. Bisa nggak?”
“Hmmm… bisa Bu, insya Allah, jam berapa?”
“Buat malem sih Neng, jam 8 kan ada arisan RT di rumah…”
“Oh, bisa Bu. Saya anter ke rumah jam setengah 7 ya?”
“Oke. Makasih ya Neng. Oya, ini uangnya…” Ibu itu menyerahkan uang 50 ribu rupiah. Rima menerimanya.
“Makasih ya Bu. Saya berangkat dulu!”

Pukul 06.30 pagi. Rima tiba di sekolah. Jarak rumah dengan sekolahnya cukup jauh, hingga ia harus berangkat pagi-pagi buta bila tak ingin terlambat. Sebagai penerima beasiswa, Rima harus benar-benar menaati peraturan sekolah, bila tak ingin beasiswanya dicabut.
“Bu, ini gorengannya, pisangnya 30, bakwan jagungnya 30, tahunya 30.” Kata Rima pada Ibu kantin.
“Iya neng. Moga-moga aja habis kayak kemaren…” Kata Ibu kantin.
“Bu! Saya beli gorengan!” Kata seorang siswa yang juga baru datang. Ia meletakkan tasnya di meja kantin.

Lalu tanpa basa-basi mengambil sendiri kantong plastik di bawah bakul gorengan, dan segera memasukkan gorengan banyak-banyak ke kantong plastik itu.

“Arya, kamu laper ya?” Sapa Rima. Ia senang, gorengannya lalu pagi-pagi buta. Arya adalah teman sekelasnya sejak kelas 2 ini.
“Laper banget. Hampir-hampir aja gue makan orang!” Jawab Arya sekenanya.
“Nih Bu, saya beli gorengannya 10.” Kata Arya sembari menyerahkan uang 20 ribuan. “Kembaliannya nggak usah Bu.” Kata Arya lagi. Rima terbelalak. Semudah itu temannya mengikhlaskan uang 10 ribu.

Baginya 10 ribu itu sangat berarti, ia harus banting tulang, bangun tengah malam, membuat gorengan, dan mengayuh sepedanya dari jarak puluhan kilometer dari rumah. Membuat tubuhnya kurus, dan kulitnya gelap terbakar matahari.

Arya dengan cuek duduk di meja kantin dan mulai memakan gorengannya dengan rakus.
“Memangnya kamu udah berapa hari nggak makan?” Tanya Rima.
“Gue ugah ahapan kok gagi pagi.” Jawab Arya kurang jelas, karena mulutnya penuh.
“Ck… ck… ck… bener-bener perut karet!”
“Tapi setiap ngeliat gorengan bikinan lo, gue selalu laper lagi,” Jawab Arya spontan. Wajah Rima merona merah. Ini bukan kali pertama Arya bersikap ‘aneh’ padanya. Namun Rima segera menyadarkan dirinya. Arya pasti hanya bercanda saja. Arya itu bukan orang biasa. Ia berasal dari keluarga berada. Ia tampan, cerdas, populer. Sempurna. Namun Rima tak bisa membohongi dirinya. Hatinya sakit setiap melihat sosok Arya. Seakan-akan Arya itu adalah bintang di langit. Terlihat dekat, bersinar, namun berjarak jutaan tahun cahaya. Tidak. Rima terlalu sibuk untuk menyambung hidup. Ia tak punya waktu sedikitpun untuk memikirkan hal tidak penting bernama cinta.

“Tiap hari kamu makan gorengan terus Ya, kamu nggak takut jerawatan?” Tanya Rima lagi.
“Gue rela kok semua muka gue penuh jerawat, asal gue bisa makan gorengan bikinan lo tiap hari.” Jawab Arya lagi dengan cuek. Rima tersenyum. Hatinya cukup bahagia mendengar sanjungan dari Arya, meski ia tak tahu, sanjungan itu tulus atau hanya main-main saja.

Tanpa terasa bel berbunyi. Rima buru-buru mengambil tas sekolahnya yang telah usang itu. Tas itu tak pernah diganti sejak masuk SMP. Permukaannya sudah sangat tipis karena telah dicuci puluhan kali. Warnanya pun telah pudar. Ditambah ada bekas jahitan tangan di beberapa tempat.
Arya segera menuntaskan acara makannya. Sisa gorengan ia masukkan ke dalam tasnya, tas punggung merk terbaru yang harganya bisa dipastikan 6 digit.

Rima diam-diam menikmati ketika ia berjalan beriringan bersama Arya. Ketika ia ada di samping Arya. Namun tanpa mereka sadari, puluhan pasang mata memperhatikan pasangan yang sekilas nampak tak serasi itu.
“What?!” Itu kan Arya!” Kata seorang siswi. “Kok Arya gue barengan sama tukang gorengan itu sih?!”
“Apa lo bilang? ‘Arya lo’?” Temannya menimpali. “Emang lo siapanya?”
“Hehe… calon istri Arya di masa depan!” Kata cewek itu, namanya Sofie.
“Huuuu… pede banget lo!” Kata Melani, temannya.
“Lo nggak tau kan, bokapnya Arya itu sahabatan sama bokap gue! Urusan gampang buat gue minta ke Papi buat ngejodohin gue sama Arya!”
“Heh, lo pikir Arya suka sama lo?” Kata Melani pedas. “Seenak udel aja lo minta jodoh-jodohin.”
“What? Gue cantik, modis, cowok mana yang nggak suka dideketin sama gue?” Mendengar ini Melani membuat gerakan ingin muntah.

Di kelas, Rima segera mengambil buku PR matematikanya.
“Rim, gue mau liat PR dong,” Kata Ariana, teman sebangku Rima, sekaligus sahabat Rima satu-satunya di sekolah itu. Rima menyerahkan buku PR nya.
“Lo udah siapin buat lomba cerdas cermat minggu depan?” Tanya Ariana. Rima menggeleng.
“Aku cuma sempat belajar sedikit Na. Pulang sekolah harus bantuin Ibu ngambil cucian. Belum lagi kalau ada yang pesen gorengan. Nggak banyak waktuku buat belajar. Yah, harusnya aku bersyukur masih banyak orang yang mesen gorengan kan,” Rima tersenyum. Wajahnya tampak lelah. Ariana iba sekaligus kagum pada sahabatnya itu. Hidup baginya adalah perjuangan. Namun Allah Maha Adil. Rima dianugerahi otak yang brilian. Ia selalu meraih gelar juara umum sejak kelas 1.

“Na, tuker tempat dong,” Tiba-tiba Arya sudah berdiri di samping meja Ariana.
“Mo ngapain sih lo?” Tanya Ariana kesal. Karena ia tahu, Arya mengusirnya secara halus.
“Mau diskusi PR matematika sama juara umum kita laaaahh!” Balas Arya. Ariana pindah tempat ke bangku Arya sambil bersungut-sungut.
“Bilang aja lo mau pedekate sama temen gue!” Bisiknya di telinga Arya sebelum pergi, tanpa berusaha memelankan suaranya.
“Yak, Betul! 100 untuk Ariana!” Jawab Arya sembari duduk di bangku Ariana. Ia memang tidak pernah berusaha meyembunyikan usahanya untuk mendekati Rima, sebagaimanapun usaha Rima untuk menjauh. Akibatnya, seperti ada suara dengungan lebah di kelas, suara murid-murid yang menyoraki Rima dan Arya.
“Ciiee… cie… suit! Suit!”

Namun ada juga suara-suara kontra yang menyakitkan telinga. “Huh! Pasangan paling nggak nyambung! Norak deh! Handsome and the beast!” Suara Sofie. Rima mendengar suara ini. Hatinya sakit. Tapi ia sudah biasa menerima ini.
“Lo kenapa diem si Rim? Nggak usah lo peduliin suara di belakang lo. Sekarang lo cuma boleh peduliin gue, oke?!” Kata Arya. Ia mengeluarkan buku PR matematikanya, dan mulai membahas PR. Sebenarnya otak dua manusia itu sama-sama cerdas. Prestasi Arya selalu berada di urutan kedua setelah Rima. Banyak yang mengatakan bila Arya seharusnya lebih cerdas dari Rima, namun karena ia kalah tekun dari Rima, prestasinya selalu di bawah Rima. Namun ada juga yang mengatakan bila Arya sengaja mengalah untuk Rima. Sebab, setiap tahunnya juara umum selain akan bebas biaya SPP, juga akan mendapatkan buku paket semua mata pelajaran selama setahun penuh, gratis. Rima telah mendapatkan beasiswa tetap hingga ia lulus SMA dari pemerintah, sehingga sebagai gantinya bila meraih juara umum, ia akan mendapatkan uang tunai sejumlah uang SPP sekolah selama setahun, selain mendapatkan buku paket gratis. Rima yang miskin sangat mebutuhkan kedua hadiah itu, yang bagi Arya bukanlah apa-apa. Entah teori mana yang benar dari kedua gossip itu, yang jelas, mereka berdua sama-sama dianugerahi otak yang cemerlang.

Setahun berlalu sudah. Sikap Arya makin hari makin menjadi-jadi. Rima selalu berusaha menjauh, terlebih-lebih bila ia mendengar cemoohan Sofie. Namun semakin Rima menjauh, Arya semakin kuat berusaha mendekatinya. Suatu saat Arya memaksa ingin mengantar Rima pulang, ketika ban sepeda Rima kempis tiba-tiba. Sepertinya ada yang sengaja mengempiskan ban sepedanya itu. Namun hati malaikat Rima tak mengijinkannya untuk menebak-nebak siapa yang telah menjahatinya itu. Biar saja. Semoga Allah mengampuni siapapun orang itu. Kata hati Rima. Rima berusaha kuat menolak ajakan itu, namun Arya terus memaksa. Rima mengatakan rumahnya buruk, tak pantas didatangi oleh Arya. Namun cowok itu malahan menjawab seburuk apapun rumah itu, bila ada Rima yang tinggal di sana, maka rumah itu lebih indah dari istana manapun di dunia ini.

Aryalah yang melabrak Sofie dan membentaknya habis-habisan ketika akhirnya ia tahu, Sofie lah yang megempiskan ban sepeda Rima. Besoknya, Arya mengembalikan sepeda Rima, sudah dicat dan diganti bannya. Karena Arya tahu, Rima tak akan mau menerima bila ia memberikan sepeda baru.

Ketika mereka hampir lulus kelas 3, Aryalah yang membantu Rima memperoleh beasiswa kuliah. Membantu mencari-cari informasi beasiswa, hingga memaksa mengantar Rima mengikuti berbagai tes. Tidak tanggung-tanggung, Rima mendapatkan Full Grade di Fakultas Kedokteran sebuah universitas negeri. Setelah semua hal yang Arya lakukan, ada satu hal yang tak pernah dilakukan Arya: mengatakan pada Rima bila ia mencintai Rima. Oh, mungkin Rima telah salah menyangka. Mungkin Arya hanya kasihan dan simpati saja padanya, tak ada yang lebih dari itu. Siapa dia? Cewek miskin, kusam, penjual gorengan yang selalu mengayuh sepeda tua ke sekolah. Ada Sofie, cewek cantik, berkulit putih bersih seperti poorselen, anak pengusaha kaya, selalu berpenampilan modis ke sekolah. Ah, sangatlah jauh bila Rima dibandingkan dengan

Sofie…
Seperti itulah pandangan Rima. Hingga suatu hari, saat perpisahan sekolah, Rima mendapatkan suatu informasi penting. Namun sayangnya, Arya tidak berterus terang padanya.
“Jadi bener, lo mau ke Cambridge?” Tanya Rio, sahabat Arya. Mereka berdua tak sadar bila ada sepasang telinga yang mendengar mereka dari balik pintu kelas.
“Ssst… Ya bener…” Kata Arya. Ia celingukan takut didengar orang.
“Terus lo rela ninggalin ‘dia’?”
“Hmm… kan nggak untuk selamanya Yo. Gue sekolah ke Inggris dengan harapan setelah lulus dari sana, gue bisa dapetin kerjaan yang bagus, terus gue… balik lagi… buat ngelamar dia. Gue akan mengubah semua hidupnya. Itu janji gue sama diri gue sendiri.”
“Ck.. ck.. ck… salut gue sama lo Ya. Cara berpikir lo sangat maju. Jadi lo sekolah ke luar negeri cuma buat dia?”
“Salah satu alasan terbesar ya itu. Bisa dibilang, Rima itu inspirasi hidup gue Yo.”
“Lo udah bilang ke Rima?”
“Gue… nggak berniat buat bilang tentang rencana gue ke luar…”
“Lho, kenapa?”
“Karena kalau dia tahu, dia akan berpikir gue jauh dari dia. Gue nggak ingin itu terjadi. Gue ingin dia selalu berpikir, kalau gue dekat.”
“Sedalam itukah cinta lo sama Rima Ya?”
“Bahkan mungkin lebih dalam dari yang lo bayangin Yo.”
“Dia… dia tahu hal ini? Maksud gue, lo pernah nyatain rasa cinta lo ke Rima?”
“Yah, belum sih. Tapi gue rasa dia pasti udah bisa nebak lah, dari segala sikap dan perbuatan gue ke dia. Kan lo tau gue nggak pernah ngebelain seorang cewek seumur hidup gue Yo.”
“Lo nggak takut, kalau lo nggak terus terang ke Rima, dia akan berpikir lain? Misalnya, lo Cuma simpatisan dia aja gitu…”
“Simpatisan? Lo kira partai apa?” Kata Arya lalu tertawa. “Gue justru lebih takut, bila gue terus terang, dia akan menolak gue. Gue nggak mau dia nolak gue dengan alasan perbedaan status sosial. Dia boleh nolak gue, kalau dia nggak punya perasaan seperti yang gue rasain sekarang Yo. Dan itulah yang gue takutin.”
“Terus, intinya lo mau ngomong nggak sama dia?”
“Nggak perlu Yo. Rasa cinta gue ke Rima nggak bisa diungkapkan dalam kata-kata.” Kata Arya tak serius. Ia nyengir.
“Huuu… lo bener-bener udah gila Ya! Gue pikir, tadinya lo bakal jadian sama Sofie..”
“Ape? Si nenek sihir itu?!”
“Hahaha… aneh lo, cewek secantik Sofie, lo nggak demen, sama tukang gorengan lo demen!”
“Kan tukang gorengannya seorang bidadari!” Jawab Arya dengan tertawa lepas. “Bagi gue, Rima itu 1000 kali lebih cantik dari Sofie atau cewek manapun. Dia cewek paling tegar yang gue kenal. Nggak kayak cewek-cewek model Sofie, yang bisanya menghambur-hamburkan uang doang sama hura-hura!”
“Hmm… tipe lo emang seorang pejuang ya! Hidup gorengan! Hidup gorengan!” Teriak Rio. Arya langsung menjitak kuat-kuat kepala Rio. Sementara itu, Rima yang berada di balik pintu kelas, terisak. Perasaan sedih dan bahagia bercampur aduk.
“Ya, berapa tahun lo sekolah?”
“Sekitar 6 tahun mungkin! Kalau lancar, gue mau langsung ambil S2 disana Yo!”
“Yaaah… si Rima keburu kawin kaleeee…” Kata Rio.
“Nggak. Rima akan nunggu gue.”
“Pede banget lo Arya! Emang lo bisa ngejamin itu?”
“Entah gue dapat keyakinan dari mana, tapi gue tahu, Rima akan nunggu gue!”

Arya mendatangi rumah Rima malam itu. Itu adalah malam terakhir mereka bertemu. Sejak acara wisuda kelulusan SMA terakhir siang tadi, Rima menghilang. Arya mencarinya di mana-mana namun tak ketemu. Akhirnya Arya memutuskan untuk mendatangi rumah Rima. Namun Rima menolak ke luar. Ia tak ingin bertemu Arya. Hatinya sakit harus berpisah dengan Arya. Ia takut tak bisa menerima kepergian Arya bila harus menemui Arya saat ini…

“Rima.. Rim… gue tahu lo ada di dalam…” Kata Arya dari balik pintu rumah Rima. “Gue nggak tahu apa alasan lo nggak mau nemuin gue Rim, tapi gue ingin lo denger kata-kata gue sekarang, please.”
“Lo pasti bertanya-tanya dengan sikap gue ke lo selama 2 tahun belakangan ini. Kenapa gue selalu baik sama lo, kenapa gue selalu belain lo. Lo harus tahu Rim, cuma sama lo gue berbuat seperti itu. Kebahagiaan gue adalah melihat lo tersenyum. Kesedihan gue adalah melihat lo menitikkan air mata. Apa lo tau, hati gue lebih sakit saat orang lain nyakitin lo, dibanding mereka nyakitin diri gue sendiri? Gue nggak tahu sejak kapan tepatnya gue ngerasain perasaan ini, tapi itu nggak penting. Yang penting untuk lo tahu, gue bahagia bisa ngerasain perasaan ini, Rim.” Arya menitikkan air matanya. Besok ia sudah harus berangkat ke Inggris. Tak akan bertemu Rima selama itu. Rima, di dalam kamarnya yang sepi, membanjiri tempat tidurnya dengan lelehan air mata.

“Mungkin, akan lama sekali sampe akhirnya kita akan bertemu lagi Rim. Gue ingin lo mengejar cita-cita lo. Gue juga akan mengejar cita-cita gue. Sampai nanti, bila cita-cita kita sama-sama tercapai, gue percaya Tuhan akan mempertemukan kita lagi.” Arya melap air matanya dengan lengan kemejanya.
“Satu hal Rim, gue punya satu permintaan buat lo…” Kata Arya. “Gue ingin -tentu saja kalau lo memeiliki perasaan yang sama seperti perasaan gue ke lo- kita saling menunggu… karena… karena cuma lo satu-satunya perempuan di dunia ini, yang gue harapkan menjadi ibu dari anak-anak gue kelak.”
“Ketuk jendela kamar lo 3 kali kalau lo setuju dengan kesepakatan ini Rim, Plis…”
Tok.. Tok.. Tok… Rima mengetuk jendela kamarnya dengan buku-buku jarinya. Air matanya masi mengalir deras tanpa suara. Arya tersenyum puas mendengar ketukan itu. 3 ketukan itu memiliki seribu arti, bernilai lebih dari jutaan dolar baginya.

Itulah pertemuan terakhir Arya dengan Rima. Selepas mengucapkan semua isi hatinya, Arya pergi. Rima akhirnya ke luar mencari Arya. Namun ia terlambat. Mobil Arya telah berlalu…

Cerpen Karangan: Dayu Swasti Kharisma
Facebook: Dayu Swasti Kharisma

Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar