Sabtu, 05 November 2016

I Love You My Brother (Part 3)



 Ayah dan Ibu langsung mengajakku untuk menemui Kakak, langkah kami terhenti ketika sampai di ruang yang menakutkan, ruangan untuk orang yang sudah meninggal, atau yang disebut dengan kamar jenazah. Hatiku bertanya-tanya. Kenapa Ayah dan Ibu mengajakku kesini? Lalu, dimana Kakak?
“Yah, kenapa kita kesini?” Tanyaku yang kebingungan diajak mereka kesini.
“Katanya kamu mau lihat Kakak, Kakak ada di dalam!” Jawab Ayah.
Mataku terbelalak dan seketika jantungku berdebar kencang setelah mendengar jawaban Ayah yang mengatakan bahwa Kakak ada di dalam sana. Apa maksud Ayah? Sebenarnya Kakak dimana? Bukannya Kakak sedang sakit? Kalau dia dirawat pun bukan di ruangan itu!
“Ayah becanda kan? Maksud Ayah apa?” Aku kembali bertanya dengan perasaan panik, namun Ayah tidak menjawab. Di sisi lain tangis ibu semakin menjadi-jadi. Apa maksud semua ini? Jangan-jangan Kakak? Tidak! Tidak mungkin!
 

Aku langsung membuka pintu ruangan itu dan masuk ke dalam karena penasaran dengan orang yang ada di dalamnya. Jantungku kembali berdebar setelah mendapati seseorang sedang terbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar, perlahan-lahan aku membuka kain putih yang menutupi wajahnya untuk memastikan orang itu bukan Kakak. Ketika baru terlihat rambutnya, aku kembali menutupnya karena takut pikiranku benar terjadi bahwa orang ini adalah Kakak. Tapi aku membuang jauh-jauh fikiran itu dan kembali membukanya. Berharap orang ini bukan Kakak, melainkan orang lain. Namun, ketika sudah terbuka semua, ternyata benar orang itu adalah Kakak. Hancur hatiku, tangisku pecah ketika melihatnya sedang tertidur dengan tenang.
 

“Kakak bangun! Ini aku Kak, ini aku Vita Adik Kakak! Buka mata Kakak! Lihat, aku sudah bisa melihat lagi! Bangun Kak, bangun!” Kataku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya yang kaku dan dingin. Berharap ia bangun dan membuka matanya, berharap semua ini hanya tindak leluconnya saja. 

Namun, sudah berkali-kali aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, ia tetap tidak bergerak dan tetap tidak bangun untuk membuka matanya. Tubuhku lemas, kakiku tidak mampu menahan tubuhku. Aku terjatuh dan menangis sejadi-jadinya. Melihatku yang menangis seperti itu, Ibu dan Ayah menghampiriku, menenangkanku di dalam pelukannya.
 

“Sabar sayang, sabar!” Ucap Ibu yang menenangkanku sambil menangis sepertiku. Ibu pasti lebih terpukul dariku. Anak laki-laki yang ia banggakan, yang sudah ia kandung selama sembilan bulan, dan sudah merawatnya sampai besar pergi meninggalkannya. Tapi Ibu punya kesempatan untuk berbicara dengan Kakak sebelum ia pergi, sedangkan aku, aku sama sekali tidak punya kesempatan itu.
 

“Kakak Bu, Kakak!” Ucapku dengan parau. Aku tidak bisa tenang meski Ibu sudah memelukku dan menenangkanku. Aku pingsan karena tidak kuat menerima semua ini, aku tidak rela orang yang sangat kusayangi pergi meninggalkanku secepat ini.

Saatku sadar hari sudah malam dan aku sudah berada di dalam kamarku. Berarti Kakak? Aku kembali menangis. Tangisku mengundang Ibu untuk datang ke kamarku. Ibu kembali menenangkanku, berharap aku bisa tenang setelah ditenangkan olehnya. Tapi, lagi dan lagi aku tidak bisa tenang. Aku masih tidak rela Kakak pergi dariku, padahal ia baru saja dinyatakan lulus dari SMA. Ia belum berkuliah, ia belum meraih cita-citanya, dan pasti ia juga belum merasakan kebahagiaannya yang sesungguhnya.

Selain menenangkanku, Ibu juga menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi pada Kakak yang membuatnya pergi meninggalkan kami semua. Sambil mendekapku Ibu berkata.
 

“Sepulang dari sekolah kemarin, Kakak meminta Ibu untuk menemaninya membeli ice cream di toko ice cream yang biasa kalian datangi. Kakak mau membelikan ice cream buat kamu. Sudah lama ia tidak makan ice cream berdua kamu semenjak kecelakaan yang mengakibatkan kamu menjadi tidak bisa melihat dan tidak bersekolah. Karena kelamaan menunggu Ibu yang sedang mengobrol bersama Ibu-Ibu temannya, Kakak berangkat sendiri kesana. Ibu tidak tahu kalau Kakak akan berangkat sendiri. Ketika di perjalanan pulang dari sana untuk kembali lagi ke Ibu, tidak sengaja Kakak menabrak batu yang membuatnya terjatuh dari kursi rodanya. Kakak berusaha untuk kembali duduk di kursinya, tapi usaha Kakak gagal, dia terlalu lemah. Kakak panik, karena Kakak tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak tahu harus meminta bantuan dengan siapa. Kalau Ibu tahu Kakak seperti itu, Ibu akan menolongnya, tapi sayangnya Ibu tidak tahu. Sampai akhirnya ada sebuah mobil yang berlalu dengan kencang menuju ke arahnya dan menabrak Kakak sampai terpental jauh, ice cream yang sedang dibawanya juga ikut terpental dengannya. Kakak langsung dibawa ke rumah sakit. Kakak kehilangan banyak darah, dan dokter menyuruh Ibu untuk mencarikan donor darah yang sama dengannya secepatnya agar Kakak selamat, karena darah yang sama dengannya sedang habis di rumah sakit itu. Ibu ingat kalau darah kamu dengan darah Kakak sama. Ibu berniat mau memberitahu masalah ini ke kamu, tapi Kakak melarang Ibu. Kakak terlalu sayang sama kamu, ia tidak mau darah kamu diambil untuknya. Sampai beberapa jam berlalu, napas Kakak perlahan-lahan memberat. Kakak kesulitan bernafas meski sudah pakai alat yang membantunya bernafas. 

Ibu menyuruh Kakak kuat untuk bertahan, tapi Kakak tidak kuat lagi, sampai akhirnya Kakak pergi meninggalkan kami. Sebelum Kakak pegi, Kakak sempat mengatakan pada Ibu bahwa ia sayang sama kamu, Ibu dan Ayah. Ia juga mau memberikan matanya buat kamu, karena Kakak mau kamu bisa melihat lagi.”

Begitulah kata-kata Ibu yang menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya. Yang membuat tangisku semakin menjadi-jadi, yang membuat aku merasa bersalah atas apa yang telah ku perbuat padanya sebelumnya. Ternyata Kakak adalah orang yang sudah memberikan matanya untukku, untuk Adik yang selalu maki-makinya setiap kali meminta bantuanku, dan Adik yang pernah tidak mengakuinya sebagai Kakakku di depan teman-temanku karena kondisinya itu ternyata sangat menyayangiku, bahkan rela memberikan matanya untukku. Kalau aku tahu orang yang mendonorkan matanya untukku adalah Kakak, aku tidak akan mau menerimanya. Aku rela jika harus selamanya hidup dalam kegelapan, asalkan aku tetap bersamanya. Dan aku rela seluruh darahku diambil untuknya, asalkan ia akan tetap hidup di dunia ini bersama orang-orang yang disayanginya.
Keesokkan harinya Ibu dan Ayah mengajakku ke tempat peristirahatan terakhir Kakak. Tangisku kembali pecah ketika sudah sampai di depan makamnya. Aku masih tidak percaya ia ada di antara orang-orang yang tertidur tenang di dalam tanah sana. Tapi aku tidak bisa memungkirinya, nama Kakak tertera di papan yang tertancap di atas tanah itu. Sambil berderaian air mata, aku menaburkan bunga yang aku, Ibu dan Ayah bawa di atas tanah makamnya yang masih sangat baru. Aku berharap ini semua hanya mimpi, berharap seseorang membangunkanku dari mimpi burukku ini. 

Tapi ini bukanlah mimpi, ini nyata jelas terjadi.
Belum lama aku, Ibu dan Ayah berada di makam Kakak, tiba-tiba terlihat ada sekelompok orang yang sedang berjalan sambil membawa bunga mendatangi makam Kakak. Aku mengenali orang itu. Mereka yang selalu mengganggu Kakak ketika di sekolah, dan mereka yang sudah membuatku kehilangan pengelihatanku.
 

“Ngapain kalian kesini?” Tanyaku dengan kasar ketika mereka sudah sampai di makam Kakak.
“Maafin Kakak Vita! Maafin kita bertiga! Kita khilaf!” Jawab salah seorang di antara mereka yang meminta maaf atas perbuatan yang sudah diperbuatnya pada Kakak.
“Maaf? Kalian bilang maaf? Selama ini kalian kemana? Kenapa baru sekarang kalian meminta maaf setelah Kakakku tiada?” Aku menampik permintaan maaf dari mereka. Aku masih geram dengan mereka, karena mereka sudah berlaku seperti itu pada Kakak, pada orang yang sangat kusayangi. Siapa sih yang mau melihat Kakaknya diperlakukan seperti itu? Semua Adik pasti tidak akan mau Kakaknya diperlakukan begitu. Ya, aku juga sama.
“Kakak tahu, kamu pasti marah banget sama kita. Kita nyesel Vit, kita nyesel. Maafin kita!” Ucapan penyesalannya akhirnya terucap juga. Namun, untuk apa disesali? Semua tidak bisa terulang lagi, dan tidak bisa membuat Kakak hidup kembali.
“Kalian tahu kan gimana keadaan Kakakku? Sebagai teman kalian seharusnya bisa membantunya, bukan malah menjadikannya sebagai boneka kalian yang bisa kalian mainin kapan aja, dan bisa kalian perlakukan semau kalian.” Aku meluapkan amarahku yang sudah lama kupendam pada mereka. Sungguh, jika aku bisa menghajar mereka, aku akan melakukan itu.
“Iya Vita, iya. Kakak tahu perbuatan kita salah, makanya kita mau meminta maaf atas kesalahan kita semua.” Lagi dan lagi kata permintaan maaf itu keluar dari mulutnya.
“Nggak! Aku gak akan maafin kalian. Kalian orang jahat. Aku benci sama kalian!” Kataku yang masih enggan menerima permintaan maaf mereka.
Mendengar perkataanku yang seperti itu, Ibu menegurku.
“Vita, gak baik bicara seperti itu. Mereka kan sudah meminta maaf, kenapa kamu gak maafin mereka?”
“Ibu gak tahu gimana sikap mereka ke Kakak saat di sekolah. Mereka udah jahat sama Kakak Bu, mereka tega memperlakukan Kakak yang gak baik, padahal Kakak gak pernah jahat sama mereka.” Aku menjelaskan pada Ibu bagaimana sikap mereka yang selalu mereka lakukan ke Kakak, agar Ibu tahu sikap buruknya itu pada Kakak.
 

Mengingat-ingat sikap mereka ke Kakak, tangisku semakin menjadi-jadi. Meski semua itu sudah terjadi, aku benar-benar tidak rela jika Kakakku mendapat perilaku seperti itu dari mereka atau dari siapa pun.
“Udah Vita, udah. Semua sudah terjadi. Kakak pasti gak mau melihat kamu menjadi seseorang yang pedendam seperti ini.” Kata Ibu yang menenangkanku.
“Iya, Ibu benar sayang. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Kita sebagai manusia harus bisa saling memaafkan.” Tambah Ayah yang menasehatiku.
“Tapi mereka udah jahat sama Kakak Bu, Yah. Mereka udah..”
 

Sebelum aku melanjutkan perkataanku itu, tiba-tiba dadaku sesak karena berbicara sambil terlalu banyak menangis. Aku menjadi tak sadarkan diri karena kesulitan bernafas.

Saatku sadar, lagi dan lagi aku sudah berada di dalam kamar dan hari sudah malam. Mataku terasa perih dan pegal karena dari kemarin aku selalu menangis. Tidak lama kemudian, Ibu datang ke kamarku sambil membawa sepiring nasi untukku. Sudah tiga hari ini aku tidak makan sedikit pun. Aku hanya bisa menangisi kepergian Kakak dari kami semua.
 

“Sayang, makan ya! Udah jangan nangis terus!” Ibu mencoba memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutku.
“Nggak Bu!” Tolakku sambil menggelengkan kepala.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kalau kamu gak makan nanti kamu sakit.”
“Biarin aja aku sakit, biar sekalian aku ikut sama Kakak.”
“Kamu bicara apa sih? Kamu harus tetap hidup. Kamu masih punya masa depan dan kamu juga punya cita-cita. Kamu gak boleh kaya gini terus.”
“Tapi aku udah gak punya Kakak. Aku sayang sama Kakak Bu!”
“Ibu tahu kamu sayang Kakak. Jangankan kamu, Ibu dan Ayah juga sayang sama Kakak. Tapi Kakak udah gak ada, kita harus bisa mengikhlaskan Kakak pergi.”
“Tapi aku gak mau Kakak pergi Bu.”
“Vita, Tuhan yang menciptakan Kakak di dunia ini, dan Tuhan juga yang berhak atas hidup dan mati Kakak. Tuhan menitipkan Kakak pada Ayah dan Ibu sebagai anak kita, dan menjadi Kakak buat kamu. Sebagai manusia, dan orang yang ada di sekeliling Kakak, kita harus bisa menerima rencananya untuk Kakak, karena kita tidak bisa menentang kehendaknya.”


Aku hanya bisa menangis mendengar kata-kata Ibu yang menasehatiku untuk bisa merelakan Kakak pergi. Kakak tidak butuh tangisan dariku, yang ia butuhkan adalah doa dariku, agar ia bisa ditempatkan di tempat yang terbaik disana. Buat apa aku menangis? Sampai aku menangis darah pun Kakak tidak bisa hidup kembali.

Ibu menenangkanku di dalam pelukannya ketika aku menangis sampai tersedu-sedu. Ibu selalu ada di sampingku disaat aku benar-benar rapuh menerima semua ini. Ketika aku mau bilang ke Ibu bahwa aku mau makan, tiba-tiba dadaku kembali terasa sesak, aku kesulitan bernafas. Apa Tuhan mendengar ucapanku tadi dan akan mempertemukanku pada Kakak? Apa Tuhan juga marah denganku karena aku tidak bisa memaafkan teman-temannya Kakak? Oh tidak! Tuhan, aku menarik ucapanku tadi. Aku ingin tetap hidup di dunia ini bersama Ibu dan Ayah, aku ingin memperbaiki diriku menjadi yang lebih baik lagi, dan aku juga ingin meraih cita-citaku. Aku semakin kesulitan bernafas. Ibu, tolong aku! Aku akan menuruti kata-kata Ibu. Dan teman-teman Kakak, aku memaafkan kalian.

Oh, ternyata aku masih hidup. Ada sesuatu yang masuk ke dalam lubang hidungku yang membuatku bisa bernafas dengan baik lagi. Aku masih bisa mendengar suara Ibu yang sedang berbicara dengan Ayah di sampingku. Aku masih bisa merasakan hangatnya sentuhan tangan Ibu yang sedang mengelus lembut punggung tanganku yang terasa sakit karena ada sesuatu yang menusuk dan menempel di atasnya. Terima kasih Tuhan, engkau masih memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki diriku. Ibu, Ayah aku menyayangi kalian.

Tiga hari kemudian, kondisiku berangsur-angsur membaik. Aku juga sudah bisa merelakan kepergian Kakak dariku dan dari kita semua. Ibu benar, aku harus tetap hidup. Aku masih punya masa depan dan cita-cita, aku tidak bisa terus menerus terpuruk dalam kesedihan seperti ini. Kakak pasti sedih dan kecewa kalau tahu mata pemberian darinya hanya kugunakan untuk menangisi kepergiannya. Padahal, ia memberikan matanya untukku agar aku bisa melihat dunia, bisa melihat masa depan untuk bisa meraih cita-citaku, bukan malah untuk menangisi kepergiannya.

Malam ini aku ke kamar Kakak. Aku rindu dengannya. Siapa tahu disana ada sesuatu yang bisa mengobati rasa rinduku padanya. Perlahan-lahan aku membuka pintu kamarnya. Di dalam kamarnya masih terlihat rapi meski sudah lama tidak ditempati dan tidak dirapikan. Aku berusaha untuk menguatkan diriku agar tidak menangis lagi. Tapi sayang, usahaku gagal. Aku kembali menangis setelah melihat foto-fotonya banyak yang terpajang di dinding kamarnya, melihat baju-bajunya yang masih terlipat rapi di dalam lemarinya, dan melihat apa pun itu yang berhubungan dengannya yang ada di dalam kamarnya. Oh Kakak, aku merindukanmu.

Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam

0 komentar:

Posting Komentar