Setiba di rumah besar itu, Fino langsung mengantarku ke kamar
Jonathan. “Ini kamarnya, Tita juga ada di dalam, kamu masuk aja,”
ucapnya. “Kamu gak ikut masuk,” tanyaku pada Fino yang hendak pergi.
“Kamu takut masuk sendiri, baiklah aku temani,” Fino membuka pintu kamar
itu. “Jo ada Amira, dia kesini buat jenguk loe,” Jonathan menoleh, Tita
juga. Aku hanya mematung berdiri di dekat Fino. Jonathan menatap ku
kosong, tanpa kata.
“Ra, kamu datang. Keadaan Jo udah membaik kok, dia hanya butuh istirahat
saja nanti juga pulih,” kata Tita mendeskripsikan keadaan Jonathan, dia
begitu perhatian dan peduli kepada Jonathan lain halnya denganku,
sahabat tidak berguna, sampai Jonathan memutuskan tali persahabatan
denganku tak lain hanya karena aku tidak baik menjadi sahabatnya. Aku
masih berdiri agak jauh dengannya, tak berani mendekat karena kupikir
dia masih marah.
“Baiklah aku ke luar dulu,” kata Fino, aku sempat mencegahnya, “Sebentar
aja aku bakal balik lagi,” ucapnya. Suasana masih tegang itu menurutku.
Dan akan lebih tegang lagi karena Tita minta diri untuk pamit karena
Ibunya meminta dia untuk pulang. “Kamu jaga Jonathan ya,” ucap Tita
sesaat sebelum ia pergi melewati pintu besar itu. “Kamu hati-hati, Ta,”
kata Jonathan, Tita menyambutnya dengan sesungging senyuman.
Diam, itu sikapnya terhadapku. Beberapa lama hanya dilalui dengan sunyi,
tanpa kata, tanpa canda. Berkali-kali kusalahkan diriku dengan keadaan
ini. Tapi apakah Jonathan semarah itu sehingga melihatku saja ia seakan
tak mau lagi.
“Jadi surat itu pemberian dari Tita?” ucapnya tanpa menoleh kearahku,
aku mengangguk. “Sayangnya surat itu bukan dari kamu, coba aja surat itu
dari kamu pasti langsung aku bales hari itu juga,”
“maksud kamu?” tanyaku agak gugup, aku merasa punya sedikit harapan terhadap Jo.
“gak gak ada maksud apapun kok, maksudku syukurlah, akhirnya aku tau
juga Tita punya perasaan yang sama kayak aku. Jadi aku gak perlu bantuan
siapapun untuk bisa dekat sama dia.” ucap Jonathan, kata-katanya itu
terasa tertancap tepat di ulu hatiku.
“Kenapa kamu harus ngomong kayak gitu sama aku Jo, apa kamu gak tau gimana perasaan aku?” lirihku dalam hati.
“kamu juga suka sama Tita?” tanyaku pelan. Ia menatap ku teduh, “Dulu
aku memang gak suka sama Tita, aku suka sama gadis lain. Aku bodoh udah
berharap lebih terhadap gadis itu, aku kira dia juga suka sama aku tapi
aku salah ternyata dia sendiri yang jodohin aku sama Tita dia yang
menginginkan aku jadian sama Tita, dan dia sendiri yang ngasi surat Tita
itu untuk aku,”
“Tap..tapi..”
“Tapi apa lagi? kalo kamu mau aku jadian sama Tita kenapa kamu gak
bilang dari dulu?”. Aku terdiam, ya setidaknya karena aku tahu cintaku
tidak bertepuk sebelah tangan, tapi cinta itu sudah pergi, jauh sekali…
“Tapi Jo, sebenarnya aku juga suka…” tak kulanjutkan karena sudah terlambat.
Aku sedih dengan keadaan ini, tapi sudah cukup aku tidak mau menangis
lagi, biarkan aku luka di dalam tapi tak akan pernah kutunjukkan.
Biarkan ini menjadi luka yang tersembunyi.
Hari ini hobiku mencoret kertas datang lagi, tapi mungkin tak separah
dulu, kali ini coretan itu terlihat sedikit lebih rapi dan membentuk
sebuah tulisan atau tepatnya sebuah tulisan nama seseorang. Aku segera
melipat kertas itu karena takut ada yang melihatnya.
Hari ini pelajaran berlangsung dengan pelajaran bahasa Indonesia
sebagai pembukanya. Ya pelajaran kali ini setidaknya tidak membuat saraf
otak melengkung karena kelelahan berfikir. Saat jam istirahat
berlangsung Jonathan meminta kami semua anak kelas XII IPA 2 untuk
sengaja diam di kelas untuk beberapa menit saja. “Aku hanya ingin kalian
jadi saksi hubungan aku sama seseorang,” ucapnya. Aku berdiri mematung
di pojok kelas karena tak ingin melihat apa yang selanjutnya akan
terjadi.
“Tita aku suka sama kamu, kamu mau kan jadi pacarku?” ucap Jonathan
sambil memberikan setangkai bunga kepada Tita. Aku sudah bisa menebak
hal ini yang akan terjadi. Suara teriakan “terima-terima” datang dari
setiap penjuru kelas. Dan riuhan tepuk tangan mengiringi sewaktu Tita
menerima Jonathan. Ucapan selamat, datang dari semua siswa kelas XII IPA
2, tak terkecuali denganku. Walaupun terasa sesak di dada tapi
kupaksakan diri untuk turut berbahagia dalam suka cita ini, meski ini
sangat menyakitkan khususnya untuk diriku sendiri. “Selamat ya Ta, Jo.
Selamat.. ya.. aku.. aku bahagia sekali…” ucapku sambil menahan
bendungan air mataku. Kertas yang tadi kupegang telah terlepas bersamaan
dengan lepasnya semua harapanku selama ini. Aku segera berlari menuju
tempat rahasia, tempat untuk menenangkan diri. Pikiranku kacau balau
hatiku sakit parah dan aku hanya ingin sendiri saat ini. Aku sekali lagi
menangis di kekosongan tempat ini.
“Ini kertas kamu tadi jatuh,” ucap Fino, aku sudah bisa menebak dia dari suaranya.
“Buang saja kertas itu.” Ucapku sesenggukan
“Kamu itu udah susah payah buat tulisan ini, tulisan nama Jonathan”
ucapnya seraya menaruh kertas itu di dekatku. “Aku tahu kamu sedih
karena hubungan Jonathan dan Tita, tapi apa kamu sesedih itu sampai
harus menangis seperti ini,” lanjutnya.
“Kamu bilang seperti itu karena kamu tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan,” jawabku, mataku sembab dan memerah
“Aku tau, bahkan saat ini cintaku juga bertepuk sebelah tangan,
perempuan yang aku cintai lebih memilih laki-laki lain,” ucapnya lagi,
ia terlihat sedih
“Siapa maksud kamu?” tanyaku aku mengusap air mataku
“Sudahlah kamu tidak perlu tahu,”
“Fino aku ini sekarang sahabat kamu, aku berhak tau siapa perempuan yang udah berani nyakitin perasaan kamu,”
“Kamu yakin ingin tahu siapa dia?”
“Ya yakin sekali,”
“Sudahlah biar nanti aja kamu tau sendiri,” ucapnya.
Dua bulan kemudian…
Waktu berjalan begitu cepat, seakan tak mengizinkan setiap orang untuk
berhenti beberapa detik saja. Aku misalnya, tidak bisa berhenti
memikirkan kejadian yang telah lalu, selalu sedih, tapi beruntung aku
masih punya satu sahabat yang selalu peduli. Meski hati ini sempat remuk
karena kejadian dua bulan lalu, tapi perlahan aku bisa melupakannya,
mungkin tidak untuk selamanya, tapi setidaknya cukup untuk sedikit
mengobati luka-luka ini secara perlahan.
“Ke perpustakaan yuk, aku mau pinjam buku matematika, ada tugas tadi
dari Bu Guru,” ajakku pada Fino, “Sekalian kita ke lantai atas, buat
refreshing,” sambungku. Ia pun setuju.
Perpustakaan hari ini begitu ramai sekali. Banyak siswa yang meminjam
buku atau pun mengembalikan buku. Ini lah wajah perpustakaan pasca
renovasi, lebih luas dan tentu lebih nyaman juga. Aku mengambil buku
matematika yang terletak di lemari tengah berdekatan dengan lemari buku
biologi yang terletak sejajar dan tersusun rapi.
“Aku mau pinjam buku matematika, kamu?”
“Aku bahasa inggris,” jawabnya.
“Ra, aku harus kumpul dulu soalnya ada pemanggilan untuk semua ketua
kelas. boleh aku minta tolong buku ini ditaruh di meja aku?”
“Boleh, Fin.” Aku mengambil buku paket itu dari tangannya. Aku menuju
kelas Fino terlebih dahulu sebelum kembali ke kelasku. Ruangan itu
tampak sepi, sebagian besar mungkin tengah asyik memanfaatkan waktu
istirahat di kantin atau di perpustakaan. Aku memasuki kelas itu, namun
aku tak tahu bangku Fino ada di sebelah mana.
“Hei, meja Fino yang mana ya?”
“Meja paling ujung urutan ke dua, Fino duduk di sebelah kiri” jawabnya
sambil menunjuk meja yang di maksud. Aku menghampiri meja tersebut. Ku
taruh buku paket biru ini tepat di dalamnya, namun justru ada buku lain
yang jatuh sesaat setelah aku menaruh buku paket bahasa inggris berwarna
biru ini. Aku mengambil buku tanpa judul berwarna hijau putih itu dan
membukanya. Ada sebuah gambar sketsa wajah disana, dan dibawahnya
tertulis, Because of you, kurasa jantungku mulai bergetar. Berdesir,
bergelombang seperti ombak menyapa lautan. Ini gambar wajah…KU
Kubuka lembaran berikutnya, ada sederet tulisan berjudul sama dengan yang ku lihat di bawah sketsa wajah tadi.
BECAUSE OF YOU
Karena kamu, itulah yang ingin kusampaikan selama ini. Karena kamu
semuanya berubah, berubah menjadi lebih berarti. Karena kamu aku bisa
melupakan dia, dia yang telah pergi meninggalkan aku dan dunia ini. Ya,
dia Rani, pacarku. Dia meninggal karena kecelakaan pesawat, pesawat yang
dia tumpangi itu jatuh dari ketinggian, dan semenjak itu aku benci
ketinggian. Bukan aku takut tapi aku benci. Aku benci karena ketinggian
itu membuatku teringat tragedi yang mengerikan itu. Tapi aku beruntung
bisa bertemu dengan orang seperti kamu, mengingatkanku akan sosok Rani
yang selalu tangguh dalam menghadapi setiap masalah.
Aku berhenti membaca tulisan itu, dan berbicara pada diriku sendiri.
“Jadi perempuan yang selama ini di sukai Fino itu …adalah aku, tapi
kenapa dia menyukaiku karena aku mengingatkan dia dengan pacarnya. Apa
ini berarti dia tidak tulus? Apa ini berarti aku hanya sebagai pelarian
saja?”. Hendak kututup buku itu, namun dengan rasa ingin tahu yang
tinggi, aku tak jadi melakukannya.
Tapi ada satu hal istimewa yang kau punya tapi tak di miliki Rani.
Keras kepala. Ya, tapi bukan keras kepala sembarangan, kamu begitu
karena kamu ingin membela kebenaran, membela orang yang lemah, dan
menuntaskan kejahatan. Itu kan yang selalu kamu bilang. Tapi justru
keras kepalamu itu yang membuatmu jauh lebih istimewa dari orang lain
termasuk Rani.
Hari berganti hari, aku masih saja tak bisa mengenalmu lebih jauh
lagi. akhirnya kuputuskan mendekatimu dengan cara yang lain, dengan cara
memusuhimu, kupikir itu lebih baik, dari pada tidak sama sekali. Aku
mulai mencari tahu apa saja yang tidak kamu sukai, lalu kubuat itu
menjadi masalah di antara kita berdua. Jujur awalnya aku pikir cara ku
ini tidak akan menimbulkan masalah tapi aku salah, dan puncaknya aku
melihat kamu menangis karena tanganku sendiri. Berulang kali ku ingin
minta maaf, tapi rasa bersalah membuatku malu untuk mengatakannya.
Selama dua tahun kurasa cukup untuk mendekatimu dengan cara yang
salah, dan tahun terakhir ini kuputuskan untuk mendekatimu dengan cara
yang baik. Dan akhirnya aku berhasil menjadi teman baikmu. Ada satu hal
yang mengganjal pikiranku, ternyata kamu menyukai orang lain. Yang tak
lain adalah saudaraku sendiri yaitu Jonathan. Aku sedih sekali, tapi tak
kuucapkan karena percuma kamu tidak akan pernah jadi milikku. Tapi
dalam tulisan ini aku ingin kamu tahu kalau sebenarnya aku menyukaimu…
Aku menutup buku itu. Buku yang di tulis oleh Fino. Dan
mengembalikannya ke tempat semula, sekarang aku percaya kalau di
benar-benar menyukaiku. Ternyata dia serius, tapi aku malah
menganggapnya mencari pelarian. Aku mencari Fino ke berbagai tempat,
tapi dia tidak ada. Rapat ketua kelas itu dimana sih, ucapku.
Pencarianku terhenti ketika suara bel masuk berbunyi.
“Amira, Jonathan ada di taman sekarang, dia menunggu kamu. Mungkin
ada sesuatu yang ingin dia bicarakan,” ucap Fino sore hari waktu ia
datang kerumahku. Aku pura-pura tersenyum mendengar kabar itu dan tak
mengatakan apapun. “Aku akan ke sekolah ada renovasi untuk lantai atas
perpustakaan,” setelah itu ia pun pergi. Padahal ada sesuatu yang ingin
kutanyakan padanya, lukisan dan tulisan itu. Ada rasa penyesalan dalam
hatiku. Kenapa fino melakukan semua ini? Kenapa Fino ingin menjodohkan
aku dengan Jonathan yang telah aku anggap sebagai masa lalu?
Aku sampai di sebuah taman yang rimbun dengan berbagai tanaman. Aku
menghampiri orang yang telah menungguku sejak tadi. “Hai, Jo,” sapaku.
Aku menunggu sesuatu yang akan di katakannya. “Amira aku tau, aku sudah
mengecewakan kamu, aku sudah membuat kamu sedih, aku minta maaf,”
“Tidak apa-apa Jo,”
“Aku mau kita mulai dari awal lagi, aku akan melupakan semuanya, aku
akan mengakhiri hubungan aku dengan Tita, aku janji aku akan…”
“Jonathan, aku tidak membutuhkan semua itu yang aku butuhkan adalah kamu
jadi sahabat aku lagi tidak lebih. Aku juga tidak mau hubungan kamu
sama Tita putus karena aku. Kita sudah punya jalan masing-masing
sekarang, aku harap kamu jaga Tita baik-baik.” Ucapku pada Jonathan,
kemudian aku melangkah pergi karena ada sesuatu yang harus aku kejar.
Aku menuju sekolah, gerbang besar itu belum tertutup ini menandakan
masih ada kegiatan di sekolah. Sore ini cuacanya cerah dan berawan.
Angin bertiup perlahan mengiringi langkahku menuju lantai atas
perpustakaan yang tak lain adalah tempat rahasia atau the secret place.
Aku menaiki satu per satu anak tangga dan benar ada perbaikan di sana.
dan kulihat semuanya bersih dan rapi termasuk kebun kecil yang ada di
sebelahnya, kebun itu bukan lagi kebun rumput tapi menjadi kebun bunga,
ada banyak pot bunga mawar yang menghiasinya. Aku tersenyum melihat
semua ini.
“Bagaimana menurut kamu bagus kan?” ucap seseorang dari belakangku
“Bagus donk,” jawabku seraya melihat ke arahnya, yang tak lain adalah
orang yang telah memperindah semua ini. “Jadi ini hasil rapatnya?”
tanyaku
“Ya, sudah lama sekali ruangan atas ini tidak terpakai padahal banyak
hal yang dapat kita lakukan di sini, membaca buku, menenangkan pikiran,
bahkan bisa digunakan sebagai ruangan kelas baru. Karena itu aku
mengusulkan itu supaya ruangan ini tidak terbengkalai lagi.”
“Hanya karena itu? Bukan karena hal lain?”
“Apa maksud kamu?”
“Mungkin saja ada seseorang yang mendorong kamu untuk melakukan semua ini,”
“Kamu bicara apa sih Amira,”
“Aku tau Fino kamu masih suka kan sama Rina?”
“Kamu tau tentang Rina dari mana?”
“Aku tau dari mana itu tidak penting. Rina beruntung bisa dapetin orang seperti kamu.”
“Jonathan juga beruntung bisa dapetin orang seperti kamu.”
“Apa maksud kamu Fino?”
“Kamu sama Jo pacaran kan?”
“Fino kenapa kamu bicara seperti itu aku dan Jonathan tidak ada hubungan apa-apa.”
“Tapi kenapa? kamu menyukainya kan?”
“Tidak lagi karena aku menyukai orang lain,”
“siapa?”
“Sebelum aku jawab kamu harus jawab pertanyaan aku dulu. Apa kamu masih suka sama Rina?”
“Tidak karena aku menyukai orang lain,”
“Apa aku boleh tau siapa perempuan yang sekarang kamu suka,” tanyaku.
Fino tidak segera menjawab, ia menatapku. “Orang yang paling nyebelin
yang pernah aku temuin dan dia sekarang ada di depanku,” jawabnya
kemudian. Aku gugup, salting atau sejenisnya, tidak tau harus bilang apa
lagi.
“Kamu tadi janji kamu akan kasih tau aku siapa orang yang kamu suka sekarang,” ucapnya
Aku menjawab, “orang itu adalah yang pernah bilang akan selalu
membenciku selamanya, siapa lagi kalau bukan Alfino hadiwijaya, tapi
sekarang dia sudah jadi orang baik. Aku kagum sama dia,”
Aku dan Fino tertawa bersama, setidaknya kami bahagia karena bisa jujur
tentang perasaan kami. Meski hubungan ini diawali dengan rasa benci,
tetapi tidak akan mudah untuk dilunturi. Bahkan ada orang bilang suatu
hubungan akan lebih bertahan lama jika di awali dengan permusuhan, ya
itulah ceritaku bersama mantan musuhku, Alfino.
SELESAI
Cerpen Karangan: Widia oktaviana
Facebook: Baiq Widia Oktaviana
0 komentar:
Posting Komentar